HARIANHALUAN.ID – Di era digital, aktivitas pribadi yang dulu dijaga rapat sebagai ranah privat, kini dengan mudah dipertontonkan di media sosial. Tak jarang, hal-hal yang dianggap sensitif dalam norma budaya lokal kini menjadi konsumsi publik yang dianggap lumrah.
Transformasi ini tidak hanya mengubah gaya hidup, tetapi juga mulai memengaruhi jati diri budaya kita khususnya budaya lokal yang selama ini hidup dari nilai, etika dan kebersamaan komunitas.
Budaya lokal seperti Minangkabau, Jawa, Bali, dan lainnya, selama ini memiliki sistem nilai yang kuat, seringkali diwariskan secara lisan dan turun-temurun. Dalam konteks Minangkabau, nilai “adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah” menjadi landasan dalam bertindak dan berperilaku. Namun kini, nilai-nilai itu mulai bergeser bahkan dilupakan, karena dominasi budaya populer yang datang dari layar-layar kecil di genggaman tangan kita.
Survei Katadata Insight Center (2023) mencatat bahwa 48 persen responden merasa tekanan sosial dari media sosial, terutama generasi muda. Mereka merasa perlu tampil sempurna, mengikuti tren dan membagikan kehidupan pribadi demi pengakuan. Budaya malu, tenggang rasa dan keterikatan pada norma adat perlahan berganti dengan budaya viral, serta validasi digital.
Yang lebih mengkhawatirkan, otoritas budaya pun kini digantikan oleh figur-figur seleb media sosial. Tokoh adat, guru dan orang tua kehilangan tempatnya sebagai penjaga nilai, karena kalah populer dari influencer yang sering kali tak berakar pada nilai-nilai lokal.
Seperti disampaikan oleh seorang tokoh adat di Sumatera Barat, “Anak-anak sekarang lebih percaya TikTok daripada tambo adat.”
Namun, media sosial juga tidak bisa sertamerta dianggap sebagai lawan budaya. Ia adalah alat. Dan seperti alat lainnya, tergantung pada siapa yang menggunakannya dan untuk apa. Di sejumlah daerah, komunitas anak muda mulai membalikkan arus. Mereka menjadikan Instagram, YouTube, hingga podcast sebagai ruang baru untuk mengenalkan kembali tarian tradisional, cerita rakyat, bahkan petatah petitih dari daerah mereka.
Momentum inilah yang perlu diperkuat. Pemerintah, tokoh adat, pendidik dan para kreator lokal harus bergandeng tangan membangun ekosistem digital yang tidak hanya adaptif terhadap zaman, tetapi juga akrab dengan akar budaya. Budaya lokal tidak boleh hanya jadi simbol masa lalu. Ia harus menjadi identitas masa kini dan masa depan. (*)
Oleh: Azwar Mardin