Oleh : Retno Riyanti, MSc (Pengamat kebijakan publik)
Rabu, 2 April 2025 Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menandatangani dan mengumumkan pengenaan tarif impor. Dalam pidatonya, Trump menyebut bahwa tarif tersebut adalah bentuk kemerdekaan ekonomi kita “Liberation Day”. Pabrik-pabrik dan lapangan kerja akan kembali muncul di Amerika, dan hal itu sudah mulai terlihat. AS menerapkan tarif impor universal sebesar 10 persen kepada negara di dunia yang mengekspor produknya ke AS. Selain tarif universal, Trump juga menetapkan tarif tinggi pada beberapa negara seperti Kamboja (49 persen), Sri Lanka (44 persen), Vietnam (46 persen), Bangladesh (37 persen), Thailand (36 persen), China (36 persen), Taiwan (32 persen), Indonesia (32 persen) dan beberapa negara lain.
Pemberlakuan tarif tersebut menuai bermacam respon dari berbagai negara yang terdampak. Negara seperti Jepang, Vietnam, Thailand, Kamboja dan Indonesia memilih jalur negosiasi bilateral dengan AS. Sedangkan Cina, Kanada dan Uni Eropa mengambil opsi balasan tarif atau yang dikenal dengan perang dagang. Dalam perkembangannya, pemberlakukan tarif dan dimulainya perang dagang jilid 2 pemerintahan Trump ini mau tidak mau berimbas terhadap perekonomian global dan domestik.
Tarif resiprokal sebesar 32 persen yang dikenakan kepada Indonesia oleh Pemerintahan Trump-AS menekan perekonomian nasional. Dampak langsung yang akan terjadi adalah penurunan daya saing ekspor Indonesia di pasar AS akibat harga yang menjadi lebih tinggi atau kurang kompetitif. Hal ini akan menurunkan permintaan terhadap barang-barang Indonesia. Industri seperti tekstil, furnitur dan alas kaki yang menjadi unggulan ekspor ke AS saat ini dikhawatirkan akan sangat terpukul. Padahal jauh sebelum adanya tarif Trump, industri tersebut telah terkena badai PHK yang mengguncang perekonomian. Risiko lebih buruknya adalah adanya gangguan neraca perdagangan nasional.
Selain sektor riil, tarif resiprokal juga menggoyahkan sektor keuangan. Meskipun tarif Trump terhadap pasar modal merupakan efek rambatan atau bersifat tidak langsung. Adanya ketidakpastian serta perubahan ekspektasi investor membuat pasar keuangan bereaksi secara emosional. Kebijakan tarif Trump melahirkan reaksi protektif dari pemegang modal untuk segera mengamankan portofolionya. Sehingga muncul pergerakan spontan di pasar keuangan.
Mobilitas dana di pasar keuangan dapat dilihat dari bursa saham dunia dan nasional yang langsung bereaksi negatif. Tercatat adanya koreksi tajam dari Indeks NASDAQ memerah di angka 11,44 persen, S&P500 merosot 10,53 persen, kemudian indeks Dow Jones melemah 9,26 persen pada 4 April 2025, segera pasca pengumuman tarif Trump. Bursa Saham berbagai negara juga mengalami hal serupa, di mana indeks Merval Argentina ambrol 10,55 persen, indeks SPTSX Kanada ambruk 8,35 Persen, indeks ATX Austria jatuh 8,82 persen, indeks WIG Polandia merosot 9,11 Persen, indeks DAX Jerman anjlok 7,81 persen, indeks SMI Swiss terperosok 7,46 persen, indeks CAC Prancis melorot 7,43 persen dan beberapa negara lainnya.
Dapat dikatakan negara kawasan Asia, penurunan indeks sahamnya tidak sedalam negara Eropa. Sedangkan pada waktu yang sama Indeks Harga Salam Gabungan (IHSG) pada pengumuman tarif tersebut masih dalam periode libur bursa Idul Fitri 28 Maret–7 April 2025, sehingga terlihat masih belum ada pergerakan. Namun, pada pembukaan pasar pertama 8 April 2025 IHSG langsung memerah di level 9,19 persen atau 598 poin.