Oleh : Mohammad Aliman Shahmi,M.E. Dosen Fakultas Ekonomi UIN Muhammad Yunus Batusangkar
HARIANHALUAN.ID- Wacana revitalisasi Pasar Bawah Bukittinggi kembali mengemuka, membawa harapan sekaligus kekhawatiran. Harapan akan pasar yang lebih modern, bersih, dan tertata tentu ada.
Namun, bayang-bayang kegagalan proyek serupa di masa lalu, seperti Banto Trade Centre (BTC) dan problematik renovasi Pasar Atas pasca kebakaran, menjadi alarm keras bagi Pemerintah Kota Bukittinggi.
Jangan sampai revitalisasi kali ini hanya menjadi pengulangan kesalahan, menambah deretan proyek monumental yang gagal menjawab kebutuhan substansial: kesejahteraan pedagang dan kenyamanan pembeli.
Pembangunan fisik semata, tanpa didasari pemahaman mendalam terhadap ekosistem pasar yang kompleks, adalah resep jitu menuju kegagalan.
Pemerintah Kota Bukittinggi harus berani mengakui bahwa megahnya bangunan pasar tidak berbanding lurus dengan peningkatan aktivitas perdagangan jika akar masalah sesungguhnya tidak disentuh.
Ini bukan sekadar soal membangun ulang, tetapi soal membangun kembali kepercayaan dan keberlanjutan ekonomi kerakyatan.
Kaca Benggala Kegagalan: BTC dan Problematika Pasar Atas sebagai Pelajaran Berharga
Sebelum melangkah lebih jauh dengan rencana revitalisasi Pasar Bawah, Pemerintah Kota Bukittinggi wajib melakukan refleksi mendalam terhadap proyek-proyek pasar sebelumnya.
Banto Trade Centre (BTC) adalah contoh paling nyata. Digadang-gadang menjadi pusat perdagangan modern, BTC justru berakhir sepi dan jauh dari ekspektasi. Apa pelajaran dari sana?
Apakah pedagang dilibatkan secara aktif dalam perencanaan? Apakah skema harga sewa atau kepemilikan kios mempertimbangkan kemampuan riil pedagang kecil dan menengah? Apakah desain dan tata letak bangunan benar-benar mengakomodasi alur pembeli dan jenis dagangan yang ada?
Pertanyaan-pertanyaan ini harus dijawab jujur. Indikasi kuat menunjukkan bahwa BTC gagal karena kurangnya pelibatan pedagang, harga yang memberatkan, dan mungkin juga desain yang tidak sesuai dengan kultur berdagang masyarakat lokal.
Pedagang yang terbiasa dengan model pasar tradisional merasa terasing dengan konsep “trade centre” yang kaku dan mahal. Akibatnya, banyak kios kosong, dan geliat ekonomi yang diharapkan tidak pernah tercapai.
Ini adalah kerugian ganda: anggaran besar terbuang, dan potensi ekonomi pedagang terhambat. Hal serupa, meski dalam konteks berbeda, juga terlihat dalam penanganan Pasar Atas pasca kebakaran.
Keluhan pedagang mengenai proses relokasi, pembagian tempat, hingga dugaan ketidakadilan dalam penentuan posisi strategis menjadi catatan kelam. Apakah ada jaminan bahwa revitalisasi Pasar Bawah akan terbebas dari masalah serupa?
Jika transparansi, partisipasi, dan keadilan tidak menjadi fondasi utama, maka revitalisasi Pasar Bawah hanya akan menjadi bom waktu yang siap meledak dengan ketidakpuasan pedagang.
Pemerintah harus mengaudit secara menyeluruh apa yang salah dengan BTC dan penanganan Pasar Atas. Bukan untuk mencari kambing hitam, tetapi untuk mengidentifikasi pola kesalahan dan memastikan tidak terulang.
Kegagalan masa lalu adalah guru terbaik, jika kita mau belajar darinya. Jangan sampai Pasar Bawah menjadi BTC jilid dua atau mengulang carut-marut pengelolaan Pasar Atas.