Kombinasi antara kebijakan fiskal ekspansif dan kebijakan dagang proteksionis adalah resep sempurna bagi ketidakstabilan. Di satu sisi, negara membakar anggaran untuk mempertahankan konsumsi domestik. Di sisi lain, negara menutup pintu perdagangan yang bisa membuka peluang ekspor dan efisiensi rantai pasok. Akibatnya, perekonomian terjebak dalam lingkaran ketidakpastian yang sulit diprediksi dan lebih sulit dikendalikan.
Ketidakpastian ini tidak terbatas pada ekonomi. Retorika Trump juga memperkeruh hubungan dengan Afrika Selatan. Ia mengecam kebijakan redistribusi tanah Pretoria dan membekukan bantuan luar negeri, bahkan mengusir duta besar Afrika Selatan dan menawarkan suaka kepada kelompok minoritas kulit putih. Presiden Cyril Ramaphosa menanggapi dengan strategi diplomasi ekonomi. Ia terbang ke Washington menawarkan kesepakatan dagang baru, dan membuka peluang investasi bagi Tesla dan Starlink, perusahaan milik Elon Musk (Peyton, 2025).
Namun, pertemuan itu bukan sekadar soal investasi. Trump menuntut pembebasan perusahaan AS dari peraturan yang mewajibkan kepemilikan 30 persen oleh kelompok terpinggirkan di Afrika Selatan. Ini adalah intervensi langsung terhadap kebijakan transformasi ekonomi pasca-apartheid. Permintaan semacam itu menciptakan tekanan yang tidak hanya bersifat ekonomi, tetapi juga moral dan historis. Ramaphosa harus menjaga keseimbangan antara memperbaiki hubungan diplomatik dan mempertahankan prinsip keadilan sosial di negaranya.
Ketegangan perdagangan juga menjadi sorotan dalam pertemuan menteri keuangan G7 di Banff, Kanada. Para pemimpin keuangan negara-negara G7 berupaya meredakan perbedaan pendapat terkait kebijakan tarif AS dan memfokuskan diskusi pada isu-isu strategis seperti dukungan terhadap Ukraina, praktik ekonomi non-pasar oleh negara seperti China, dan ketahanan rantai pasok global (Payne, Kraemer, & Mukherjee, 2025).
Scott Bessent, Menteri Keuangan AS, dinilai lebih diplomatis dibanding presiden, tetapi tetap membawa mandat politik yang berat dari Washington. Negara-negara G7 menyadari bahwa menjaga stabilitas lebih penting daripada memaksakan komunike resmi. Perbedaan muncul dalam isu krusial seperti perang Rusia-Ukraina, terutama ketika AS ingin menghapus istilah “invasi ilegal” dalam draf komunike. Perbedaan ini memperjelas bahwa meskipun kerja sama masih mungkin, perpecahan strategis sedang berkembang di tengah-tengah forum negara-negara demokratis terbesar.
Serangkaian peristiwa yang terjadi sepanjang Mei 2025 menegaskan kembali bahwa kebijakan proteksionis dan pendekatan konfrontatif dari Presiden Trump memiliki implikasi yang luas. Pasar merespons negatif terhadap ancaman tarif dan ketidakpastian fiskal, sementara negara-negara mitra seperti Afrika Selatan dan anggota G7 harus menavigasi tantangan hubungan internasional tanpa mengorbankan nilai dan kepentingan nasional mereka. Dunia kembali berada dalam persimpangan: antara tuntutan domestik yang agresif dari negara besar dan kebutuhan akan stabilitas dan kolaborasi dalam sistem global. Dalam konteks ini, diplomasi ekonomi, seperti yang diupayakan oleh Ramaphosa dan negara-negara G7, menjadi strategi penting untuk meredam risiko dan mempertahankan tatanan multilateral.