Oleh: Prof. Hardisman (Guru Besar Fakultas Kedokteran Unand)
Setiap tanggal 29 Juni, Indonesia memperingati Hari Keluarga Nasional (Harganas). Pada tahun 2025 ini menjadi tahun ke-32 penyelenggaraan peringatan penting ini, dengan tema “Dari Keluarga untuk Indonesia Maju”. Peringatan Harganas tahun ini ingin menegaskan kembali bahwa kekuatan dan kemajuan bangsa Indonesia bermula dari keluarga, sebagai unit terkecil namun paling fundamental dalam struktur sosial.
Lebih jauh lagi, pemerintah melalui BKKBN juga meluncurkan sebuah rangkaian kegiatan yang dinamai Taman Asuh Sayang Anak (Tamasya), sebagai bagian dari perayaan Harganas tahun ini. Program ini bertujuan memperkuat peran keluarga dalam mengasuh dan mendampingi tumbuh kembang anak secara optimal.
Namun di balik peringatan ini, saat ini kita dihadapkan pada realitas getir dalam krisis paran keluarga Indonesia, baik dalam bidang kesehatan maupun sosial. Oleh karena itu, tema dan program adalah permulaan dan peningkatan kesadaran. Lebih penting setelah itu, bagaimana masyarakat, pemerintah, dan setiap keluarga benar-benar membangun kembali kekuatan keluarga sebagai fondasi peradaban bangsa.
Krisis Kesehatan Bermula dari Rumah
Keluarga seharusnya menjadi tempat utama dalam menjaga kesehatan fisik dan mental anggotanya. Akan tetapi, kenyataan berbicara sebaliknya. Saat ini, Indonesia menghadapi berbagai permasalahan kesehatan yang mengakar pada lemahnya peran keluarga. Masalah seperti anemia pada ibu hamil, Kekurangan Energi Kronik (KEK), Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR), hingga stunting masih menjadi momok yang belum terselesaikan.
Data terakhir menunjukkan, secara nasional terdapat 48,9 persen ibu hamil di Indonesia mengalami anemia, yang meningkatkan risiko perdarahan saat persalinan, bayi lahir prematur, dan gangguan tumbuh kembang janin. Kasus anemia ini berkaitan dengan asupan gizi yang tidak mencukupi, akibat pemahaman keluarga tentang nutrisi seimbang bagi ibu hamil. Lebih memprihatinkan lagi adalah angka KEK pada ibu hamil yang masih tinggi di beberapa provinsi, yang memperburuk potensi BBLR.
Begitu juga halnya dengan stunting, atau gagal tumbuh pada anak akibat kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang. Data SSGI 2024 masih membayangi Indonesia dengan prevalensi stunting dan severe stunting 19,8 persen. Stunting bukan hanya soal tinggi badan yang kurang, tetapi menyangkut kapasitas otak dan kualitas hidup anak. Angka ini menggambarkan potret keluarga yang gagal memenuhi kebutuhan dasar anak karena keterbatasan ekonomi, kurangnya literasi gizi, dan minimnya akses pelayanan kesehatan dasar.
Anak yang Terlantar Secara Psikososial
Tidak hanya bidang kesehatan, krisis juga terjadi dalam ranah sosial. Anak-anak dan remaja Indonesia hari ini menghadapi tantangan yang jauh lebih kompleks. Di banyak kota besar, termasuk Kota Padang, kenakalan remaja seperti tawuran, pergaulan bebas, dan penyalahgunaan narkoba, menjadi fenomena yang dipertontonkan dengan kasat mata.