Oleh: Dr. Agusli Taher (Peneliti Pertanian)
Sejak setahun ini, gagasan Ir. Djoni tentang Sawah Pokok Murah (SPM) semakin viral. Bahkan Buku berjudul SAWAH POKOK MURAH-Murah Bagi Petani Tidak Merusak Lingkungan sudah diterbitkan Yayasan Dangau Inspirasi-Riset dan Pengembangan Pedesaan (DIRPP) sejak 2024.
Kebetulan empat bulan yang lalu, saya dihadiahkan buku ini oleh Dr. Munzir Busnia, mantan Dekan Faperta Unand, salah seorang penulis diantara 13 orang penulis di buku itu. Hebatnya lagi, gaung SPM ini mendorong Ketua Komisi IV DPR RI, Titiek Soeharto dan Dirjen Tanaman Pangan ikut hadir di acara panen padi SPM di Agam tanggal 22 Juni 2025 lalu.
Di buku SPM itu, saya mengggarisbawahi kata Pengantar Ketua Yayasan Dangau Inspirasi Riset dan Pengembangan Pedesaan (DIRPP) yang menyebutkan bahwa SPM bukan hanya sekadar upaya pemutakhiran praktik budidaya padi sawah, melainkan solusi bagi masalah-masalah ekonomi dan ekologis yang ditimbulkan oleh praktik-praktik budidaya konvensional. Selain lebih praktis dan murah, SPM ternyata tidak merusak lingkungan, bahkan dalam hal tertentu memperbaikinya.
Artinya, SPM merupakan teknologi hebat dan langka. Sebab, belum pernah ditemukan teknologi budidaya pertanian yang mampu mengakomodasi keunggulan teknis, sosial, ekonomis, dan ekologis.
Juga, terdapat catatan penting dalam Kata Pengantar Ketua Yayasan DIRPP itu, yang menyatakan bahwa keunggulan SPM tersebut masih didominasi oleh testimoni-tertimoni para petani saja, sementara praktiknya di lapangan masih acak, bervariasi, dan belum baku. Nah, dalam perspektif inilah saya ikut nimbrung dalam “bedah ringan Teknologi SPM” ini.
Meskipun dilaporkan bahwa teknologi SPM di acara field day yang dihadiri Wagub Sumbar tersebut produktivitasnya 10 persen lebih tinggi dari teknologi non-SPM, akan tetapi di mata sebagian besar peneliti padi yang cukup lama bergelut dengan riset padi, maka serumpun padi di genggaman Wagub Vasco Ruseimy menunjukkan bahwa produktivitas padinya terbilang sangat rendah. Memang demikian, nasib padi varietas unggul yang tidak dipupuk, karena varietas unggul padi rakus pupuk. Itu alasannya, ahli-ahli pertanian di awal program intensifikasi dulu, rekomendasi pupuknya 200 kg Urea, 100 kg TSP, dan 100 kg KCl. Yang masih banyak tertinggal di lahan sawah itu hanya pupuk fosfat (90 persen), sementara sebagian besar pupuk N dan K hilang dari persawahan dengan berbagai mekanisme.