Oleh : Prakoso Bhairawa Putera
Direktur Perumusan Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi – BRIN;
Dosen Magister Kebijakan Publik UNPAD
KRISIS lingkungan tak lagi sekadar ancaman masa depan. Ia kini nyata, hadir dalam bentuk banjir yang makin sering, kualitas udara yang menurun, serta timbunan sampah yang terus meningkat. Data tahun 2024 dari Kementerian Lingkungan Hidup mencatat bahwa 40% dari total 32 juta ton sampah di Indonesia belum terkelola. Situasi ini menjadi peringatan keras bagi kita semua, termasuk dunia pendidikan tinggi.
Perguruan tinggi bukan sekadar tempat belajar teori. Ia adalah ruang strategis untuk menanamkan kesadaran ekologis dan membentuk generasi masa depan yang peduli keberlanjutan. Namun faktanya, banyak kampus masih terjebak pada budaya birokrasi dan orientasi administratif. Padahal, tantangan zaman menuntut kampus menjadi pelopor perubahan, bukan pengekor rutinitas.
Di sinilah pentingnya kepemimpinan hijau. Kepemimpinan yang tak hanya memikirkan akreditasi dan peringkat, tapi juga bagaimana kampus bisa menjadi contoh hidup dalam mengelola lingkungan secara berkelanjutan. Konsep ini dikenal sebagai green entrepreneurial leadership, yaitu gaya kepemimpinan yang menggabungkan semangat kewirausahaan dengan komitmen pada kelestarian lingkungan.
Sayangnya, implementasi konsep ini masih terbatas. Menurut data UI GreenMetric 2023, hanya sekitar 15% perguruan tinggi di Indonesia yang memiliki program Green Campus yang berjalan aktif. Ini menunjukkan bahwa kesadaran terhadap pentingnya keberlanjutan di kampus masih bersifat simbolik, belum menjadi gerakan nyata yang mengakar.
Untuk itu, ada beberapa langkah penting yang dapat dilakukan. Pertama, pimpinan kampus perlu memiliki visi lingkungan yang kuat. Visi ini harus menjadi kompas bagi kebijakan institusi, bukan sekadar slogan di baliho. Kedua, diperlukan pengembangan kapasitas kepemimpinan hijau. Pelatihan dan pendampingan tentang gaya kepemimpinan transformasional yang berorientasi lingkungan harus menjadi bagian dari pengembangan SDM di kampus.
Ketiga, kampus perlu memberi ruang tumbuh bagi inisiatif hijau dari mahasiswa dan dosen. Inovasi kecil seperti pengelolaan sampah terpadu, urban farming, atau program nol limbah harus diapresiasi dan didorong menjadi praktik umum. Ini hanya mungkin jika ada budaya organisasi yang terbuka terhadap perubahan.
Keempat, penting untuk membangun green psychological capital, yaitu kepercayaan diri kolektif bahwa sivitas akademika mampu menjadi bagian dari solusi lingkungan. Kampus yang memiliki iklim organisasi hijau akan lebih siap menghadapi tantangan masa depan yang serba tidak pasti.
Beberapa perguruan tinggi telah menunjukkan kepemimpinan hijau dengan keberhasilan menerapkan konsep kampus hijau. Universitas Indonesia (UI), misalnya, menempati peringkat pertama kampus berkelanjutan di Indonesia versi UI GreenMetric 2021 dan dikenal sebagai penggagas pemeringkatan hijau global. Universitas Gadjah Mada (UGM) juga secara konsisten mengembangkan kebijakan lingkungan hidup dan berada di posisi tiga besar nasional. Di tingkat internasional, Wageningen University di Belanda menempati peringkat pertama dunia dan menjadi contoh ideal dalam membangun ekosistem kampus yang berorientasi lingkungan.
Kepemimpinan kampus juga dapat memfasilitasi pengembangan teknologi hijau dan inovasi ramah lingkungan. Kampus bisa menyediakan anggaran dan fasilitas untuk riset serta implementasi energi baru terbarukan. Sebagai contoh, Fakultas Teknik UI memasang turbin angin dan panel surya di kampusnya (pada Gedung Integrated Creative Engineering Learning Lab (I-Cell) di tahun 2020), menegaskan komitmen pada ekonomi hijau dan pengurangan emisi karbon. UGM pun menjalin kemitraan dengan industri seperti PT Paiton Energy untuk mendukung riset energi bersih (2024), termasuk pelatihan transisi energi dan riset hidrogen bagi staf profesional.
Penting pula untuk mengintegrasikan prinsip keberlanjutan ke dalam kurikulum. UGM telah menerapkan pendekatan Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan (EfSD) sebagai bagian dari strategi kampus hijau mereka. Kurikulum seperti ini membantu mahasiswa memahami tantangan lingkungan secara kritis dan membekali mereka dengan keterampilan untuk menjadi agen perubahan. Kolaborasi juga perlu diperluas. Universitas Hasanuddin, misalnya, telah menjalin kerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan – Ketika saat itu (2022), bentuk kerjasama melalui Sekolah Pascasarjana Unhas dengan MallSampah, sebuah startup lokal yang bergerak di bidang lingkungan. Hal ini dilakukan bersama dengan pemerintah daerah dalam pengelolaan sampah berkelanjutan—menunjukkan bahwa sinergi kampus dan pemerintah dapat menghasilkan solusi konkret.
Dalam era perubahan iklim yang mendesak, perguruan tinggi tidak hanya berperan sebagai tempat belajar, tapi juga laboratorium perubahan sosial. Melalui kepemimpinan hijau, kampus dapat menjadi pusat inovasi dan percontohan kebijakan lingkungan yang mendorong masyarakat luas. Dengan mengintegrasikan kurikulum berkelanjutan, menerapkan teknologi ramah lingkungan, serta memperkuat kemitraan multistakeholder, perguruan tinggi membangun budaya hijau yang kokoh. Kepemimpinan visioner di kampus diharapkan menghasilkan generasi pemimpin baru yang peduli lingkungan. Langkah-langkah semacam ini bukan hanya menjadi tanggung jawab lokal, tetapi juga membawa manfaat jangka panjang bagi bangsa dan planet.
Menjadikan kampus sebagai laboratorium hidup bagi inovasi keberlanjutan bukanlah hal mustahil. Yang dibutuhkan adalah keberanian untuk berubah, dan kepemimpinan yang mampu menginspirasi. Kepemimpinan hijau bukan tentang posisi, tetapi tentang sikap dan tindakan.
Kini saatnya kampus mengambil peran lebih besar. Jangan sampai lembaga yang seharusnya mencetak agen perubahan justru abai terhadap isu lingkungan yang semakin mendesak. Lewat kepemimpinan hijau, perguruan tinggi bisa menjadi motor penggerak perubahan—bukan hanya mencetak lulusan, tapi juga mencetak solusi. (***)