Oleh: Prof. Elfindri (Direktur Sustainable Development Goals (SDGs) Unand)
Data BPS yang lazim untuk mengungkap jumlah kemiskinan head count didasari atas nilai rupiah garis kemiskinan. Jika di bawahnya, maka masuk kelompok penduduk miskin. Jika jumlah penghasilan di atas batas garis kemiskinan, mereka tidak tercatat sebagai miskin.
Garis kemiskinan BPS tentu akan bervariasi antar daerah di Indonesia. Sehingga secara makro, angka kemiskinan sudah di bawah 10 persen. Jumlah penduduk miskin masih sekitar 26 juta. Dalam jangka panjang, tahun 2040 direncanakan tidak ada lagi kemiskinan seukuran itu.
Lantas, jika ukuran kemiskinan dinaikan, menjadi USD2,15 per hari untuk kemiskinan ekstrem, dan USD6.8 untuk standar baru, Bank Dunia menemukan dengan garis kemiskinan baru itu proporsi penduduk Indonesia kategori miskin menjadi 60,3 persen. Ini telah menempatkan proporsi penduduk miskin kita nomor dua terbanyak di dunia.
Kenapa banyak tambahannya? Karena yang berada pada hampir miskin banyak, bahkan kelompok menengah yang turun kelas dalam taksiran 3 tahun terakhir juga besar jumlahnya. Mereka sangat volatile dengan kenaikan harga. Sedikit kenaikan harga saja, berdampak pada daya beli mereka. Ukuran moneter yang sangat merisaukan kita semua.
Miskin Tapi Bahagia
Hadirnya angka kemiskinan baru diiringi dengan rilis hasil survei flourishing, yang menyatakan ukuran kebahagiaan holistik. Secara kualitatif yang dilaporkan grup peneliti dari Harvard University, kemudian diterbitkan dalam Journal of Mental Health.
Ukuran flourishing secara kualitatif cukup lengkap, menangkap komponen kesejahteraan dari fisik, sosial, agama, dan finansial. Semua pertanyaan kategori kualitatif, termasuk hitungan secara finansial.