Simbolisme, Ritualisme Agama dan Ketimpangan Sosial
Ajaran agama Islam seharusnya memperkuat nilai-nilai sosial dan moral, justru kini lebih banyak diajarkan dan diamalkan dalam bentuk ritualistik dan simbol-simbol. Bagaikan sebuah festival, kini rumah ibadah (mesjid dan moshola) dibangun dengan megah, namun terkesan lebih untuk kebanggaan warga dan para donatur. Mesjid cantik dan indah itu hanya ramai ketika hari Jum’at dan hari besar Islam lainnya, sedangkan ketika sholat lima waktu, apa lagi subuh, hanya segelintir orang-orang tua yang hadir.
Pondok tahfiz menjamur, anak-anak didorong menjadi hafiz, rajin sholat, tapi di saat yang sama, kita menyaksikan realitas yang kontras: perilaku kasar, kurang sopan santun adat budaya Minangkabau, dan sempit pergaulan sosial. Bahkan muncul kasus-kasus menyimpang, kekerasan, hingga penyimpangan seksual, yang juga terjadi di lingkungan yang katanya “religius”.
Di sisi lain, dalam kalangan dewasa juga begitu, menampilkan kesan pribadi yang religius, sepaerti jidad hitam sebagai simbol kuatnya ritual ibadah, berpakaian “jubbah & kopiah haji” mulai meninggalkan simbol budaya Minangkabau “sarung, baju taluak balango & kopiah”. Jubbah diartikan sebagai pakaian Islami, pada hal itu budaya Arab.
Mereka tidak tahu kalau di tanah Arab sana orang non-Muslim juga pakai jubbah. Banyak lagi simbol dan ritual yang menampilkan ke-sholeh-an “pribadi”, tetapi meninggalkan kesholehan “sosial”. Hublum minannas kini kurang mendapat tempat, sehingga ketimpangan sosial semakin menganga.
Fenomena ini akhirnya menciptakan agama yang simbolik, serta adat yang kosmetik. Agama diamalkan dalam bentuk yang indah di permukaan, namun kering di dalam. Kita lihat banyak orang rajin salat, aktif di pengajian, berlomba membangun masjid. Tapi itu belum menjamin prilaku sosial dan kepedulian terhadap sesama. Ada hafiz yang fasih melantunkan al-Qur’an, namun tidak tahu tata krama dan sopan santun Minangkabau. Ada tokoh masyarakat yang rajin puasa sunah, namun di saat yang sama memotong anggaran publik untuk kepentingan pribadi.
Mirisnya, Ranah Minangkabau kini tercatat sebagai salah satu daerah dengan tingkat penyimpangan seksual/LGBT yang tinggi. Sebuah ironi dari tanah yang dulu dikenal dengan masyarakatnya yang “beradat dan beradab”.
Sejarah Membentuk Realitas: Dari Penjajahan Hingga ke Modernisasi
Kerusakan ini tidak terjadi memang secara tiba-tiba. Ia merupakan akumulasi dari berbagai faktor historis dan struktural. Pada masa penjajahan, Belanda telah memisahkan pendidikan umum dari pendidikan agama. Pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru meminggirkan otoritas adat dan ulama lokal, digantikan oleh sistem pendidikan dan kekuasaan yang sentralistik.
Dobbin (1987) mengamati bahwa semangat keagamaan dan adat yang kuat dalam masyarakat Minangkabau mulai goyah sejak intervensi kolonial Belanda dan kebijakan sentralisasi nasional pasca kemerdekaan. Selama berabad-abad lamanya, Nagari adalah pusat kekuatan peradaban Minangkabau. Di zaman kolonial, Stuer seorang pejabat penjajah Belanda telah merusak tatanan Nagari secara paksa, yang sudah tentu sekaligus merusak tatanan adat dan keutuhan masyarakat (Asnan 2023).
Selanjutnya, di zaman Orde Lama, peristiwa PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) atas perintah Soekarno telah menghancurkan jati diri orang Minangkabau. Lalu, di zaman Orde Baru, pemerintahan Soeharto menghilangkan pemerintahan Nagari yang sudah berabad-abad lamanya dan menukar dengan Desa. Di zaman reformasi hingga kini, modernisasi, globalisasi dan berbagai macam faktor mempengaruhi pemikiran dan prilaku orang Minangkabau.