Dalam hal kerusakan beragama, menurut Hamka (1958) Islam masuk ke Minangkabau pada abad ke-14 melalui ulama-ulama dari Pasai dan Aceh, dan menyatu secara harmonis dengan adat, membentuk ABS-SBK. Namun harmoni itu mulai retak sejak kebijakan Orde Lama dan Orde Baru yang cenderung meminggirkan nilai-nilai lokal demi pembangunan yang seragam.
Hari ini, modernisasi dan globalisasi mempercepat keterasingan generasi muda dari akar budayanya. Dalam banyak keluarga urban, bahasa Minangkabau hanya digunakan oleh kakek-nenek, sementara cucunya tumbuh dalam lingkungan digital yang lebih mengenal TikTok daripada “kaba, randai”, atau “pepatah adat”. Gejala ini jika dibiarkan akan mengancam eksistensi Minangkabau bukan sekadar sebagai kelompok etnik, tetapi sebagai peradaban. Tanpa revitalisasi nilai, pada saatnya Minangkabau bisa saja tinggal menjadi nama administratif saja yang hanya tertulis dalam peta, tapi kehilangan seluruh substansi kehidupannya.
Sistem Pendidikan, Penentu ke Mana Kita Akan Melangkah
Nelson Mandela, seorang tokoh pejuang kemanusiaan dari Afrika Selatan mengatakan, bahwa “pendidikan adalah alat perang masa depan”. Berpijak kepada pernyataan Mandela tersebut, kita perlu mempersiapkan generasi Minangkabau masa depan yang mumpuni, terdidik, beradat/beradab dan berilmu, berwawasan luas, serta memiliki jati diri Minangkabau yang kuat. Untuk itu, kita perlu sistem pendidikan dengan kurikulum tertentu yang mampu menyandingkan muatan lokal dengan pendidikan umum. Pendidikan berbasis ABS-SBK harus segera menjadi prioritas.
Kurikulum sekolah harus kembali mengajarkan tentang adat budaya, bahasa, dan sejarah lokal, seperti mata pelajaran BAM (Budaya Alam Minangkabau) dulu. Namun, ia harus didahului dengan satu kajian dan perencanaan yang serius dan matang. BAM seyogianya tidak hanya sebagai mata pelajaran, melainkan sebagai sistem nilai yang hidup, baik di rumah, di sekolah, maupun di ruang publik.
Sistem ini juga harus berafiliasi atau bekerjasama dengan lembaga-lembaga adat dan agama, agar ilmu dan wawasan yang diperoleh oleh siswa tidak hanya bersifat tekstual. Alim ulama perlu menyeimbangkan pendidikan hablum minallah (hubungan dengan Allah) dan hablum minannas (hubungan dengan manusia). Karena Islam bukan hanya soal shalat dan puasa, mendirikan mesjid dan pondok tahviz, tetapi juga tentang adil, jujur, dan kasih sayang sosial.
Para orang kaya dan donatur Minangkabau yang punya perhatian tinggi terhadap kampung halaman, harus merubah paradigma dan berpikir ke luar kotak, agar membagi sumbangan dan perhatian tidak hanya membangun mesjid cantik dan indah. Tetapi juga berpikir untuk mendirikan sekolah-sekolah formal dan informal di Nagari, yang memberi penekanan sejajar antara adab dan ilmu sesuai semangat ABS-SBK.
Harapan Baru, Dari Simbol Menjadi Sistem Hidup
Kiranya masih belum terlambat, kita masih bisa memperbaiki arah jalan yang akan dituju oleh anak cucu. Tapi langkah awalnya adalah, kita harus “sama-sama menyadari bahwa ada yang salah selama ini” dalam cara kita memahami dan mewariskan adat dan agama kepada generasi.
Tidak bisa tidak, ABS-SBK harus kembali menjadi “roh kehidupan masyarakat Minangkabau”, bukan hanya sekadar semboyan di prasasti atau kata-kata indah dalam pidato para tokoh dan pejabat saja. Karena tanpa adat yang hidup, dan agama yang membumi dalam sistem sosial, maka identitas Minangkabau akan menjadi kosong. Dan ketika identitas kosong, maka masyarakatnya akan rapuh, mudah dihasut dan diombang-ambingkan oleh perubahan zaman tanpa arah.
Kesimpulan
Dapat disimpulkan bawah ABS-SBK hari ni hanyalah sebuah semboyan tanpa arti, ia hanya hadir sebagai hiasan pemanis kata saja tanpa pemahaman yang berarti. Sementara itu adat budaya terpinggirkan, praktek atau pengalaman agama kini cenderung kepada ritual dan simbol-simbol saja.