Selain gini pendapatan dan kekayaan, ada satu basis data yang bisa menjadi acuan analisis jurang ketimpangan, yakni gini tanah. Sebagai negara agraris di mana sekitar 39 persen tenaga kerja bekerja di sektor pertanian, kepemilikan tanah merupakan kunci kemakmuran. Tapi fakta menyebutkan, mayoritas petani Indonesia adalah petani gurem yang hanya memiliki tanah seluas 0,3 hektare saja. Pada saat yang sama, sebagaimana diungkapkan oleh Menteri ATR BPN belum lama ini, bahwa ada satu keluarga yang menguasai 1,8 juta hektare lahan di Indonesia.
Tak Berakhir Jika Tak Diakhiri
Pembangunan ekonomi dan akses pendidikan serta kesehatan yang tidak merata merupakan faktor utama yang selama ini menjadi batu sandungan mengapa sejak reformasi bergulir, ketimpangan makin memburuk. Padahal keberhasilan pembangunan tidak bisa dilihat secara parsial dari pertumbuhan ekonomi, peningkatan PDB per kapita dan penurunan kemiskinan saja, tetapi juga pemerataan bagi seluruh kalangan masyarakat dan ini yang justru paling krusial. Bukan berarti harus sama rata (gini ratio = 0), tetapi setidak-tidaknya tidak terlalu melebar (di atas 0,3).
Meminjam pandangan ekonom peraih Nobel, Joseph Stiglitz, bahwa sebagian besar penyebab ketimpangan adalah hasil dari kebijakan pemerintah, baik itu yang dikeluarkan maupun tidak. Meskipun demikian, lanjut Stiglitz, pemerintah pula yang mempunyai otoritas dan kekuatan besar untuk mengatasinya. Dengan demikian, ketimpangan itu tak akan berakhir jika tak diakhiri.
Oleh karena itu, yang diperlukan adalah satu; keberanian politik (political will) untuk membuka jalan terjal menuju ekonomi inklusif dan berkeadilan. Presiden Prabowo Subianto menyatakan akan membenahi sistem ekonomi yang sudah lama memicu ketimpangan dan kebocoran ekonomi.
Sejalan dengan keinginan presiden, masalah ketimpangan yang terus berlarut nyaris tidak ada solusi ini, harus segera diselesaikan. Sebab, jika tidak segera diakhiri, bisa menjadi penyebab kian sulitnya negeri ini terlepas dari jebakan negara berpenghasilan menengah (middle income trap), sebuah kondisi yang tidak saja kita inginkan, melainkan harus dihindari.
Kemerdekaan ekonomi yang berkeadilan bukanlah utopia. Ada langkah strategis yang bisa ditempuh untuk menutup jurang ketimpangan dan menghadirkan economic justice sebagaimana yang digaungkan oleh pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.