Oleh: Elly Delfia
(Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas)
Analisis wacana kritis selalu memandang wacana atau teks sebagai sesuatu yang bernilai. Wacana tidak pernah dianggap sebagai sesuatu yang netral dan kosong belaka. Wacana membawa nilai-nilai atau muatan sosial. Wodak dan Fairclough (1997) menyebut wacana sebagai teks yang bukan hadir begitu saja, melainkan punya tujuan tertentu yang ingin disampaikan pada khalayak. Lalu analisis wacana kritis bertugas menguraikan relasi kuasa, dominasi, dan ketimpangan yang diproduksi dalam teks/wacana (van Dijk; Tanen dkk, 2011).
Demikian juga dengan wacana pantun yang terdapat dalam buku Bertutur dalam Pantun (2024) karya Dharmawanita Persatuan Universitas Andalas (DWP Unand). Sebagai bagian dari wacana yang diproduksi untuk menyampaikan tujuan tertentu pada khalayak, buku pantun yang diterbitkan oleh Bintang Pustaka Media, Yogyakarta berisi kumpulan pantun yang ditulis oleh ibu-ibu organisasi DWP Unand, seperti Bu Ona Efa Yonedi yang merupakan istri Rektor Universitas Andalas, Dr. Efa Yonnedi, S.E., A.Kt., MPPM. Selain itu, juga ada ibu-ibu lain yang merupakan istri Wakil Rektor, Ketua Lembaga, dan Dekan di lingkungan Universitas Andalas, di antaranya Bu Ita Yuliandri, Bu Solfa Werry, Bu Santi Udan, Bu Wiwin Hardi, Bu Gusti Herwandi, Bu Warnis Hasbullah, Bu Welly Virtous, Bu Susi Khasrad, Bu Eva Suryani, Bu Asrawati, Bu Eva Alizar Hasan, Bu Weri Ferdi, Bu Wevy Ningrat, Bu Husna Roza, Bu Sari Dewi, dan Bu Wahyuni Gusti Asnan.
Setiap perkumpulan wanita atau perempuan dapat dikatakan produktif apabila menghasilkan karya dan kreativitas. Dalam dunia modern perempuan tidak dapat disebut produktif jika tidak mandiri dan tidak berkarya. Hal itulah yang dilakukan oleh DWP Unand sebagai organisasi yang produktif. Mereka telah menghasilkan karya, baik dalam berbagai bentuk kerajinan tangan dan juga karya buku. Salah satunya buku berjudul Bertutur dalam Pantun yang ditulis oleh DWP Unand. Buku tersebut berjumlah 78 halaman berisi 7 bab dan 32 subbab. Masing-masing bab dan subbab mengekpsos berbagai kegiatan yang telah dilakukan oleh DWP Unand, seperti silaturahmi, kebersamanaan, keakraban, kerja sama, pendidikan anak dan ketahanan keluarga, ibu dan teladan keluarga, lansia dan sehat di hari tua, gizi dan pencegahan stunting, serta akhlak dan karakter, seperti yang terlihat pada beberapa contoh pantun yang dikutip dari buku Bertutur dalam Pantun di bawah ini.
Di Pakan banyak makanan
Untuk dimakan berami-rami
Ayo ibu-ibu DWP Unand
Berkarya jo bersilaturahmi
(Bu Ona)
Bunga Melati bunga melur
Tumbuh subur di tepi kolam
Jika hati selalu bersyukur
Alamat hidup akan selalu tenteram
(Bu Gusti Herwandi)
Ramadan kini yang telah dinanti
Dengan hati lapang dan kebahagiaan
Anak mesti dididik sejak dini
Agar berbudi baik di masa depan
(Bu Wiwin Hardi)
Makan sambal rasanya pedas
Minum air jadi penawarnya
Wanita modern haruslah cerdas
Agar bisa mendidik keturunannya
(Bu Santi Udan)
Nasi Ketan ditambah ragi
Jadikan tape makan bersama
Hadirin sekalian selamat pagi
Semoga selalu sehat dan bahagia
(Bu Ita Yuliandri)
Hal menarik dan unik dari buku itu adalah pantun digunakan untuk mengekspos kegiatan. Cara ini berbeda dengan kegiatan-kegiatan dharmawanita pada umumnya yang mempublikasikan kegiatan mereka melalui media sosial, pemberitaan media massa, ataupun dalam bentuk press release. DWP Unand berhasil memilih cara lain untuk menunjukkan eksistensi dengan memilih seni sastra lisan pantun yang identik dengan budi bahasa tinggi dalam menyampaikan aktivitas dan kreativitas. Ditilik dari sejarahnya, tidak ada catatan definitif yang menjelaskan asal-usul pantun. Namun, pendapat terkuat menyatakan bahwa pantun adalah sastra rakyat yang lahir dalam era budaya pratulis Melayu, kemudian masuk ke dalam wacana tekstual (Isa, 2023). Saat ini, budaya pantun cukup marak digunakan oleh para politisi, pejabat pemerintah, hingga pimpinan universitas. Pantun dapat mendukung retorika berbahasa, terutama saat membuka dan menutup pidato. Pantun dapat memberikan kesan santai dan menghibur. Pantun termasuk jenis puisi lama yang terdiri atas empat larik, dua sampiran dan dua isi. Sampiran adalah pemanis yang mengantarkan pada isi. Sampiran mempunyai irama yang sama dengan isi, yaitu ab-ab atau aa aa. Pantun dapat menjadi selingan yang menghibur di tengah-tengah acara yang serius, seperti seminar ataupun rapat-rapat. Pantun dapat mengubah suasana rapat, pertemuan, pesta, dan acara-acara berlansung lebih meriah, hangat, cair, dan penuh kegembiraan.
Salah satu keistimewaan pantun yang dikenal dalam budaya Melayu ialah kekayaan bahasa kiasan atau metafora. Masyarakat Melayu identik dengan pantun yang mencerminkan budi bahasa bernilai tinggi dan penuh sopan santun budaya ketimuran. Dalam pantun peribahasa Melayu, pelbagai aspek berkaitan dengan nilai dan norma hidup disampaikan sebagai wadah dalam bentuk pantun nasihat, sindiran, gurauan, dan medan untuk meluahkan perasaan. Pemilihan perkataan yang digunakan disusun dengan teliti dan dapat menyelami nilai pemikiran yang kritis. Keindahan pantun peribahasa dengan irama yang indah dan sebagai alat komunikasi yang berkesan untuk menyampaikan maksud yang tersurat dan tersirat (Yahaya, 2015). Keindahan pantun juga terletak pada kemampuan untuk menyampaikan makna deduktif dengan menggunakan alegori yang padat dan transendental. Dengan alasan ini, para pemimpin, politisi, dan banyak kalangan lain cenderung menggunakan seni sastra lisan pantun sebagai strategi diskursif dalam diskusi politik meskipun bentuknya yang singkat namun kualitasnya akurat, ringkas, dan menawan serta menimbulkan efek yang mendalam pada para pendengar atau pembaca.
Kejelian dalam memanfaatkan kekayaan dan keindahan bahasa pantun yang bernilai tinggi dimanfaatkan DWP Unand untuk mengekpos kegiatan mereka sesuai dengan perannya dalam mendukung dan mendampingi suami dalam pengembangan institusi. DWP Unand seperti menyadari potensi pantun sebagai media komunikasi yang memiliki daya tarik khusus dan keistimewaan itu. Pantun dapat menyentuh sisi kemanusiaan dengan lebih mendalam dan menghibur. Pantun juga dapat menciptakan kesan tersendiri bagi pendengar. DWP Unand menyampaikan keberdayaan mereka sebagai organisasi perempuan yang dapat berkontribusi positif bagi masyarakat dan kemajuan Universitas Andalas sebagai institusi pendidikan.
Dalam sudut pandang analisis wacana kritis, tindakan DWP Unand merepresentasikan relasi kuasa dan dominasi perempuan dalam pengembangan institusi melalui berbagai kegiatan seperti yang dijelaskan di atas. DWP Unand sebagai perwakilan organisasi perempuan yang digerakkan oleh para istri dan dosen perempuan menjadi organisasi yang menunjukkan kemandirian perempuan, bernilai, dan berdaya guna bagi kemajuan institusi. Relasi kuasa dan dominasi selalu menjadi titik fokus dalam analisis wacana kritis, Sara Mills (1994). Sara Mills adalah salah seorang ahli wacana kritis pro feminis. Ia dikenal karena mengangkat posisi marjinal kaum perempuan yang selalu menjadi objek ketidakberdayaan dan kesenjangan sosial dalam masyarakat melalui analisis wacana kritis.
Pada akhirnya, pantun menunjukkan rasa dan warna lain dari eksistensi DWP Universitas Andalas bahwa mereka “ada dan berdaya”. Pantun-pantun dalam buku Bertutur dalam Pantun menjadi sumber penting yang menunjukkan keberdayaan itu. Buku tersebut layak disebut sebagai fenomena bahasa yang terkait dengan relasi kuasa dan dominasi perempuan dalam analisis wacana kritis. (*)