Makam yang Dirahasiakan
Pagi, 3 Februari, patroli Sersan Menado, Lindong, mengepung pondok di tepi sungai. Si Patai keluar menembak, mencoba menebas dengan rencong. Bataviaasch Nieuwsblad (5 Februari 1927) menulis: “Ketika Si Patai melihat patroli itu, ia berusaha menyerang para serdadu… lalu roboh terkena tiga peluru di tubuhnya dan satu di kepalanya.” Ia tewas seketika. Bersamanya gugur Boejong Saroen, pengawal setia. Mayor Rhemrev melaporkan ke Batavia dengan singkat: De dictator was neergelegd (Sang diktator telah ditumbangkan).
Kematian Si Patai dirayakan pemerintah kolonial sebagai kemenangan besar. Namun ada kekhawatiran: makamnya bisa menjadi simbol perlawanan. Sumatra Bode (11 Februari 1927) mencatat: “Het lijk van Si Patai is niet aan de familie afgegeven… teneinde te voorkomen, dat zijn aanhangers zijn laatste rustplaats als een heilige graf gaan beschouwen.” Jenazahnya dimakamkan diam-diam, lokasinya dirahasiakan. Tak ada nisan, tak ada upacara. Ia hilang dari pandangan, tapi tidak dari ingatan rakyat.
Bagi arsip kolonial, ia adalah rooverhoofdman (kepala perampok) yang menebar teror di pedalaman. Bagi sebagian masyarakat Bovenlanden, ia adalah pemimpin yang mengisi kekosongan otoritas, membela rakyat kecil meski dengan cara keras. De Locomotief (27 Januari 1927) menutup pemberitaannya dengan kalimat: Wie niet hooren wilde, leerde voelen (siapa yang tak mau mendengar, akan merasakan akibatnya).
Seabad Berlalu, Pertanyaannya Masih Sama
Hari ini, hampir seabad sejak tiga peluru itu, pertanyaan yang sama tetap bergema: siapa yang berhak menentukan label pahlawan atau penjahat? Narasi tentang seseorang bisa berubah drastis tergantung siapa yang bercerita, media apa yang digunakan, dan kepentingan siapa yang bermain di belakangnya.
Pada 1927, citra Si Patai dibentuk oleh halaman-halaman koran kolonial. Di era digital sekarang, persepsi publik dibentuk dalam hitungan detik oleh unggahan media sosial, video pendek, atau tajuk berita daring. Dalam dua zaman yang berbeda, satu hal tetap sama: garis antara “pejuang” dan “pengacau” sering kali bukan ditentukan oleh perbuatan semata, melainkan oleh cerita yang paling keras disuarakan.
Si Patai memilih mati di medan tempur, bukan di meja perundingan. Ia terkubur tanpa tanda, tetapi namanya tetap hidup sebagai peringatan bahwa di wilayah yang terpinggirkan, kekosongan kekuasaan akan selalu melahirkan pemimpin. Dan pemimpin itu, di mata sejarah, bisa menjadi legenda atau momok, tergantung siapa yang menulisnya. (*)