HARIANHALUAN.ID – Tiga peluru mengakhiri riwayatnya. Dua bersarang di dada, satu menembus kepala. Pagi 3 Februari 1927, di Bukit Batoe Poetih, lelaki bersenjata pistol browning dan rentjong itu menerjang kepungan pasukan kolonial, memilih mati melawan daripada menyerah. Namanya Si Patai atau Maharadja Djambi figur yang dalam beberapa bulan terakhir menghantui berita utama di Batavia, Semarang, hingga Medan.
Bagi pemerintah Hindia Belanda, ia adalah hoofdaanlegger van het verzet ter Westkust ‘otak perlawanan di pantai barat Sumatra’; penguasa liar yang harus ditumpas. Akan tetapi, bagi sebagian penduduk pedalaman Padang, ia adalah pelindung, sosok yang berani menantang pajak dan peraturan kolonial. Pers kolonial menyebut wilayahnya “Ommelanden Padang”, istilah administratif untuk hinterland, padahal bagi orang Minang itu adalah Bovenlanden, yakni dataran tinggi yang menjadi jantung kehidupan adat dan ekonomi.
Kisah Si Patai bukan sekadar drama baku tembak. Ia adalah potret tentang bagaimana narasi bisa membentuk citra seseorang: di satu pihak pahlawan, di pihak lain penjahat. Pertanyaan yang sama yang kita hadapi hari ini: siapa yang berhak memberi label, sudah hadir seabad lalu.
Penguasa Bayangan di Bovenlanden
Si Patai pernah dipenjara akibat perlawanan pajak pada 1908. Setelah bebas, ia kembali ke kampung, semula sebagai petani dan pemburu, lalu masuk ke lingkaran gerakan yang dituduh radikal. Di Bovenlanden, ia memungut kontribusi, menjatuhkan sanksi, dan mengatur hukum di luar kendali pemerintah kolonial. De Locomotief (26 Januari 1927) menulis: “de geheele omgeving… zoo grondig werd beheerscht… dat er van een geregeld bestuur geen sprake meer kon zijn” seluruh daerah sekitar Padang begitu dikuasai, sehingga pemerintahan teratur tak lagi ada.
Menjelang akhir Januari, seorang buronan bernama Boejong Sawah muncul kembali. Menurut Sumatra Bode (11 Februari 1927), ia ditemukan di gua persembunyian dan dibawa oleh Si Patai, “daar hij vreesde door Boejong Sawah verraden te zullen worden” karena takut dikhianati. Ketakutan itu menjadi kenyataan. Saat disuruh membeli beras, Boejong Sawah justru menemui patroli militer dan mengungkap lokasi pemimpinnya.
Makam yang Dirahasiakan
Pagi 3 Februari, patroli Sersan Menado, Lindong, mengepung pondok di tepi sungai. Si Patai keluar menembak, mencoba menebas dengan rencong. Bataviaasch Nieuwsblad (5 Februari 1927) menulis: “Ketika Si Patai melihat patroli itu, ia berusaha menyerang para serdadu… lalu roboh terkena tiga peluru di tubuhnya dan satu di kepalanya.” Ia tewas seketika. Bersamanya gugur Boejong Saroen, pengawal setia. Mayor Rhemrev melaporkan ke Batavia dengan singkat: De dictator was neergelegd ‘Sang diktator telah ditumbangkan’.
Kematian Si Patai dirayakan pemerintah kolonial sebagai kemenangan besar. Namun ada kekhawatiran: makamnya bisa menjadi simbol perlawanan. Sumatra Bode (11 Februari 1927) mencatat: “Het lijk van Si Patai is niet aan de familie afgegeven… teneinde te voorkomen, dat zijn aanhangers zijn laatste rustplaats als een heilige graf gaan beschouwen.” Jenazahnya dimakamkan diam-diam, lokasinya dirahasiakan. Tak ada nisan, tak ada upacara. Ia hilang dari pandangan, tapi tidak dari ingatan rakyat.