Oleh : Dr. Yulihasri. SE. MBA .CHRM (Dosen FEB UNAND)
Di era digital saat ini, ungkapan pada saat ini no viral no justice (viral dulu baru diurus) bukan lagi sekadar lelucon atau sindiran di media sosial.
Fenomena ini telah menjadi kenyataan pahit yang dirasakan banyak orang ketika berusaha mencari keadilan. Sistem hukum formal, yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam melindungi hak warga negara, seringkali kalah cepat dibandingkan kekuatan media sosial.
Kasus yang mencuat di platform digital justru lebih cepat mendapatkan respons, sementara laporan resmi yang diajukan sesuai prosedur bisa menunggu berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, tanpa perkembangan berarti bahkan tidak diurus sama sekali.
Perubahan ini menunjukkan bahwa kecepatan dan tekanan publik di dunia maya kini menjadi faktor kunci dalam memaksa lembaga hukum untuk bertindak. Namun, di balik sisi positifnya, fenomena ini juga menyimpan risiko besar bagi kualitas dan prinsip keadilan itu sendiri.
Media Sosial Pengadilan Rakyat Twitter, Instagram, TikTok, dan Facebook kini berfungsi layaknya pengadilan rakyat yang efektif. Kasus-kasus yang menjadi trending di media sosial mendapatkan perhatian lebih cepat dari aparat penegak hukum dibandingkan laporan formal.
Sejumlah peristiwa besar beberapa tahun terakhir membuktikan hal ini mulai dari kekerasan rumah tangga, pelecehan, korupsi, hingga pelanggaran HAM semuanya ini baru diproses serius setelah viral. Kasus yang tidak viral sering kali tenggelam tanpa penyelesaian berarti bahkan terlupakan walaupun banyak yang dirugikan.
Satu video pendek atau thread Twitter yang menyentuh emosi mampu mengubah nasib seseorang hanya dalam hitungan jam, memaksa aparat yang biasanya lamban akan bergerak cepat karena ada tekanan dari publik.
Demokrasi Digital Ada sisi positif dari fenomena yang kita bahas ini. Media sosial memberikan ruang demokratisasi informasi, di mana siapa pun dapat menyuarakan ketidakadilan tanpa harus melewati birokrasi berbelit atau menunggu media arus utama tertarik mengangkat kasusnya. Netizen bisa menghimpun bukti, mencari saksi, bahkan menggalang dana bantuan hukum dalam waktu singkat.
Hashtag seperti #JusticeFor atau #Save dengan mudah menjadi trending dan memicu gerakan publik yang besar. Namun, sisi gelapnya juga tak bisa diabaikan. Pengadilan massa versi digital sering kali berlangsung tanpa verifikasi memadai sehingga netizen bertindak sebagai hakim, juri, dan algojo sekaligus berdasarkan informasi yang belum tentu benar.
Bahaya Mob Justice Fenomena mob justice di media sosial membuktikan bahwa salah paham bisa menghancurkan hidup seseorang dengan fenomena adanya hujatan karena video dengan konteks yang keliru. Ada pula yang menjadi korban doxxing dan ancaman hanya karena dianggap bersalah oleh netizen.
Kemudian, hoaks dan disinformasi membuat situasi ini semakin berbahaya. Kebanyakan yang viral bukan selalu kebenaran, melainkan kisah yang paling dramatis atau paling memancing emosi.
Akibatnya, keadilan yang terjadi sering kali lebih dipengaruhi oleh emosi dan persepsi publik daripada fakta hukum. Algoritma platform media sosial turut berperan, menentukan kasus mana yang layak mendapat perhatian, sementara kasus lain tenggelam di balik timeline.
Kesenjangan Digital Orang yang tidak paham teknologi, minim pengikut, atau tinggal di wilayah dengan akses internet terbatas secara otomatis terpinggirkan dari sistem keadilan viral yang kita bahas ini.
Seorang petani di desa yang tanahnya diserobot developer mungkin tidak akan pernah mendapat perhatian sebesar drama selebritas dibandingkan dengan kehilangan hewan peliharaan. Padahal dari segi urgensi, kasus petani itu jauh lebih serius. Generasi yang gagap teknologi ini menjadi korban kemampuan digital dimana mereka tidak tahu cara membuat konten yang viral meskipun mereka sangat membutuhkan keadilan.
Tekanan Berlebihan Lembaga penegak hukum kini berada di bawah tekanan publik yang luar biasa. Polisi harus bergerak cepat, kemudian jaksa dituntut selalu memberikan perkembangan, dan hakim merasa diawasi jutaan mata karena sesuatu yang viral dipublik. Tekanan seperti ini bisa mendorong transparansi, tetapi juga berpotensi menurunkan kualitas keadilan jika semua diproses terburu-buru demi menenangkan massa online.
Media Sosial Penguasa Baru Hal yang paling mengkhawatirkan adalah betapa besarnya kuasa platform media sosial dalam membentuk narasi publik. Algoritma yang mereka miliki tidak transparan dan mudah dimanipulasi. Shadow banning, throttling, atau penghapusan konten bisa dilakukan tanpa penjelasan.
Dengan sistem ini yang bergantung pada konten kontroversial yang memicu emosi justru lebih diutamakan, meski kebenarannya meragukan.
Mencari Keseimbangan Kita sudah hidup di era “No Viral No Justice.”
Tantangannya adalah memanfaatkan sisi positifnya sambil meminimalkan dampak buruknya. Literasi digital masyarakat harus ditingkatkan agar netizen mampu memverifikasi informasi sebelum membagikannya. Platform media sosial perlu bertanggung jawab dalam mengatur konten dan bersikap transparan, sedangkan institusi hukum harus beradaptasi tanpa mengorbankan prinsip keadilan. Regulasi yang jelas juga dibutuhkan untuk membatasi pengadilan massa online dan melindungi individu dari mob justice digital.
Keadilan Sejati Keadilan sejati tidak boleh diukur dari jumlah likes, shares, atau retweets. Ia harus hadir untuk semua, baik yang viral maupun yang tidak. Sistem hukum formal tetap menjadi pilar utama dan harus diperkuat agar tidak bergantung pada mood netizen atau algoritma.
Fenomena “No Viral No Justice” mencerminkan kegagalan sistem hukum konvensional dalam memberikan respons cepat, tetapi solusinya bukan menyerahkan segalanya pada anarki digital. Keadilan yang sejati adalah yang bisa diakses semua orang, tanpa memandang seberapa besar gaung mereka di media sosial.
Hanya dengan cara itu, masyarakat yang benar-benar adil dapat terwujud sehingga supremasi hukum bisa ditegakan.(*)