Oleh : HENGKI REFEGON (Guru SD Negeri 07 Kubu Gulai Bancah)
“Kemerdekaan bukan sekadar warisan sejarah, ia harus diperjuangkan setiap hari — bahkan di depan papan tulis”.
Membaca Ulang Kemerdekaan !
Sejarah kemerdekaan Indonesia kerap kali dibingkai sebagai kisah heroik segelintir tokoh . Guru yang visioner adalah guru yang membongkar bingkai itu, mengajak murid melihat bahwa kemerdekaan adalah perjuangan kolektif, penuh dengan banyak pejuang yang sering tak tercatat atau bahkan terlupakan.
Tahun ini, Indonesia mencapai usia 80 tahun sejak proklamasi 1945. Tapi mari kita hentikan tepuk tangan sejenak, lalu ajukan pertanyaan yang jarang terdengar di tengah gegap gempita: Merdeka untuk siapa? Lalu apakah kemerdekaan itu telah menjadi milik seluruh rakyat, atau hanya sebagian kecil saja yang menikmatinya?
Hakikat Kemerdekaan tidak berhenti pada tanggal, dokumen, atau pidato monumental, tetapi pada makna hidup merdeka yang dirasakan rakyat dari Sabang sampai Merauke.
Dalam membaca ulang sejarah, kita menemukan lapisan-lapisan realitas: ada yang menafsirkan kemerdekaan sebagai ruang bebas berpendapat, ada pula yang memaknainya sebagai akses adil terhadap pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan. Pertanyaannya, apakah tafsir-tafsir itu sudah menjadi kenyataan atau masih sebatas mimpi yang digantungkan?
Membaca ulang sejarah kemerdekaan berarti mengaitkannya dengan konteks hari ini. Bahwa penjajahan tidak selalu datang dengan bedil dan kapal perang, tetapi juga dengan sistem pendidikan yang mematikan rasa ingin tahu.
Ruang Kelas Bukan Ruang Penitipan Otak !
Paulo Freire menolak pendidikan gaya “setoran pengetahuan” yang meninabobokan murid. Guru yang merdeka, kata Freire, adalah fasilitator dialog, bukan pengisi gelas kosong.
Apakah di sekolah-sekolah Indonesia, ruang kelasnya sudah menjadi ruang pembebasan ? Sebab kemerdekaan di ruang kelas lahir ketika murid diajak bertanya, bukan sekadar mencatat.