Oleh : Herri (Ketua Program Doktor Manajemen FEB-UNAND)
Setiap bulan Rabiul Awal, umat Islam di seluruh dunia memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW. Peringatan ini hampir selalu meriah, dengan pengajian, zikir, dan berbagai bentuk perayaan lainnya. Namun sering kali peringatan itu berhenti pada ritual, sementara makna yang lebih mendalam justru terlewatkan. Padahal, kelahiran Nabi adalah momentum penting untuk merenungkan kembali warisan kepemimpinan beliau yang sangat relevan bagi kita hari ini.
Nabi Muhammad SAW bukan hanya seorang utusan Allah yang membawa risalah Islam, tetapi juga seorang pemimpin besar yang keberhasilannya diakui sejarah dunia. Dalam kurun waktu yang relatif singkat, sekitar dua dekade, beliau mampu mengubah masyarakat Arab yang terpecah belah dan terbelenggu budaya jahiliyah menjadi sebuah komunitas yang beradab, bersatu, dan berpengaruh. Dari Madinah, dakwah dan kepemimpinannya melahirkan sebuah peradaban yang kemudian membentang luas dari Timur hingga Barat, menjadikan Islam sebagai kekuatan dominan dunia antara abad ketujuh hingga ketiga belas.
Pertanyaannya, apa rahasia di balik keberhasilan luar biasa ini? Bagaimana Nabi, dalam kondisi sosial yang sangat sulit, mampu menanamkan fondasi peradaban yang kokoh hanya dalam waktu singkat? Jawaban atas pertanyaan ini menjadi sangat penting karena di situlah letak pelajaran berharga yang bisa kita ambil untuk menyiapkan pemimpin-pemimpin berkualitas di masa depan.
Integritas dan Kejujuran: Fondasi Kepercayaan
Salah satu sifat utama Nabi adalah integritas dan kejujuran. Sejak muda, masyarakat Mekah sudah menobatkannya dengan gelar Al-Amin—orang yang terpercaya. Julukan ini bukan sekadar simbol, melainkan pengakuan nyata dari masyarakat bahwa beliau tidak pernah berbuat curang, tidak pernah mengingkari janji, dan selalu bersikap adil.
Kejujuran dan integritas Nabi diuji dalam berbagai peristiwa. Salah satu yang paling terkenal adalah saat terjadi perselisihan besar antar-suku mengenai siapa yang berhak mengembalikan Hajar Aswad ke Ka’bah. Konflik itu hampir berujung perang, tetapi Muhammad muda mampu menyelesaikannya dengan adil melalui solusi sederhana namun jenius, yakni dengan meletakkan batu tersebut di atas kain dan meminta semua pemimpin suku mengangkatnya bersama-sama, lalu beliau sendiri yang menempatkannya di posisinya. Keputusan itu diterima semua pihak dan meredakan ketegangan.
Kepercayaan inilah yang menjadi modal utama kepemimpinannya. Sebuah pelajaran penting bagi kita: pemimpin tidak akan mampu menjalankan kepemimpinannya dengan baik tanpa kepercayaan dari yang dipimpin. Dan kepercayaan hanya lahir dari integritas dan kejujuran yang konsisten.