Senin lalu, Harian Haluan tiba tiba mengupas APBD Kabupaten Lima Puluh Kota pada halaman utama, satu halaman penuh.
Kupasan itu sayangnya bukanlah seindah cerita saya itu, tapi tentang kecilnya kue pembangunan atau belanja modal yang tersedia dalam APBD Kabupaten Lima Puluh Kota dan besarnya bagian yang dihabiskan untuk biaya rutin yang didalamnya lebih banyak untuk biaya aparatur.
Kesan yang muncul dari semua tulisan itu seolah pemda lebih banyak membiayai diri sendiri dibanding untuk publik atau masyarakat. Ini berawal dari kekecewaan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang menyorot hal yang sama pada kebanyakan pemerintah daerah di Indonesia.
Sebenarnya pernyataan Menteri Keuangan ini bisa diperdebatkan, karena setiap daerah memiliki kondisi yang berbeda. Kemampuan fiskal daerah tak hanya ditentukan oleh PAD semata. Tapi ada DAU, DAK dan juga tugas tugas pembantuan/ medebewin yang semua itu diatur dan ditentukan oleh Pemerintah (pusat).
Saya sungguh tak ingin mengeritik postur APBD Lima Puluh Kota seperti itu. Karena saya yakin bahwa pengambil keputusan juga menghadapi berbagai dilema dan handicap.
Melalui tulisan ini saya hanya ingin berbagi pengalaman sebagai seorang mantan pamong yang hampir 40 tahun berada di dunia birokrasi.
1. Perampingan organisasi.