“Saya sungguh tak ingin mengeritik postur APBD Lima Puluh Kota seperti itu. Karena, saya yakin bahwa pengambil keputusan juga menghadapi berbagai dilema dan handicap. Melalui tulisan ini, saya hanya ingin berbagi pengalaman sebagai seorang mantan pamong yang hampir 40 tahun berada di dunia birokrasi”.
HARIANHALUAN.ID – Di suatu senja yang cerah, pada tahun 90-an, saya menghadap Gubernur Sumatra Barat (Sumbar), Hasan Basri Durin ke rùmah dinas beliau.
Sebagai sespri dan sekaligus tukang tulis konsep pidato Gubernur, saya menanyakan, apakah ada pesan-pesan khusus beliau untuk dimuat dalam sambutan pada acara Pelantikan Bupati Lima Puluh Kota beberapa hari lagi ?
Beliau menjawab; “ Tidak…”.
Kata beliau : “Tidak ada hal hal yang khusus yang ingin saya sampaikan. Karena masyarakat Lima Puluh kota dan Payakumbuh adalah masyarakat yang memiliki sikap mandiri, ulet dan banyak yang terdidik, serta paham berpemerintahan. Bahkan dalam hal tertentu, sebenarnya masyarakatnya tak banyak tergantung kepada pemerintah”.
Saya tak bertanya lebih jauh, apa maksud dari ucapan beliau. Tapi, kata-kata itu menjadi pemikiran bagi saya dalam waktu cukup lama. Diam-diam saya mencoba mencari tahu kebenaran kata-kata itu.
Lima Puluh Kota, adalah kabupaten yang dianugerahi banyak kelebihan dan keberuntungan.
Letaknya yang berbatasan langsung dengan Provinsi Riau sebagai pasar yang menjanjikan. Tanahnya yang subur di beberapa tempat, air yang melimpah, memiliki tradisi panjang dalam berbagai usaha pertanian, peternakan dan industri makanan, bahkan kerajinan seperti tenun dan potensi objek wisata yang menjanjikan.
Lebih dari itu, sumber daya manusia (human resources ) baik yang tinggal di ranah maupun di rantau relatif baik. Saya tak ingin menyebut Bung Hatta atau Tan Malaka sebagai bukti keunggulan manusia masa lalu kabupaten ini. Karena, khawatir dikatakan mimpi masa lalu. Tapi, saya juga mengetahui bahwa betapa banyak tokoh-tokoh hebat berasal dari kabupaten ini.
Minggu lalu, saya ketemu dua profesor di Masjid Ummi Alahan Panjang. Dua-duanya berasal dari Lima Puluh kota dan atau Payakumbuh, yaitu Prof Weri mantan Rektor Unand dan Prof Helmi guru besar Fakultas Pertanian Universitas Andalas yang kaya ide dan pemikiran.
Saya pernah menghitung sejumlah dokter spesialis yang berasal dari “mudiak” kabupaten ini. Yaitu di nagari-nagari yang berada di sepanjang jalan dari Payakumbuh menuju Koto Tinggi.
Bukan saja dokter, para intelektual dalam berbagai disiplin ilmu lainnya juga tak sedikit jumlahnya. Demikian pula wartawan hebat, pengusaha, para profesional. Banyak yang menjadi direktur bahkan CEO perusahan besar nasional dan BUMN berkelas. Saya pernah mengatakan pada suatu ketika, bahwa pada nagari tertentu di Kabupaten Lima Puluh Kota, yang bila dibagi jumlah rumah dan jumlah sarjana di nagari tersebut, mungkin sama banyaknya. Artinya, setiap rumah punya satu sarjana.
Tahun 1979-1980, saya ditempatkan Kuliah Kerja Nyata di Kabupaten Lima Puluh kota. Saya menyaksikan keuletan masyarakatnya dalam berusaha, baik di bidang pertanian, peternakan dan perdagangan maupun sektor lainnya. Itu sudah lebih 40 tahun yang lalu, sekarang tentu lebih hebat lagi.
Tanpa menyebut nama, saya mengetahui dan mengenal beberapa sosok yang sukses dalam berbagai bidang yang berasal dari wilayah ini. Mudah-mudahan nanti diungkap semua dalam buku 1001 tokoh Minang, yang kini sedang dalam tahap akhir penuntasan penulisannya yang di gagas, ditulis sahabat saya Hasril Chaniago dkk, seorang wartawan senior, penulis dan pemerhati sejarah yang juga putra Minang asal Kabupaten Lima Puluh Kota yang sedang berkibar itu.
Senin lalu, Harian Haluan tiba tiba mengupas APBD Kabupaten Lima Puluh Kota pada halaman utama, satu halaman penuh.
Kupasan itu sayangnya bukanlah seindah cerita saya itu, tapi tentang kecilnya kue pembangunan atau belanja modal yang tersedia dalam APBD Kabupaten Lima Puluh Kota dan besarnya bagian yang dihabiskan untuk biaya rutin yang didalamnya lebih banyak untuk biaya aparatur.
Kesan yang muncul dari semua tulisan itu seolah pemda lebih banyak membiayai diri sendiri dibanding untuk publik atau masyarakat. Ini berawal dari kekecewaan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang menyorot hal yang sama pada kebanyakan pemerintah daerah di Indonesia.
Sebenarnya pernyataan Menteri Keuangan ini bisa diperdebatkan, karena setiap daerah memiliki kondisi yang berbeda. Kemampuan fiskal daerah tak hanya ditentukan oleh PAD semata. Tapi ada DAU, DAK dan juga tugas tugas pembantuan/ medebewin yang semua itu diatur dan ditentukan oleh Pemerintah (pusat).
Saya sungguh tak ingin mengeritik postur APBD Lima Puluh Kota seperti itu. Karena saya yakin bahwa pengambil keputusan juga menghadapi berbagai dilema dan handicap.
Melalui tulisan ini saya hanya ingin berbagi pengalaman sebagai seorang mantan pamong yang hampir 40 tahun berada di dunia birokrasi.
1. Perampingan organisasi.
Organisasi yang tambun adalah cost yang mahal. Besarnya organisasi bukan hanya membutuhkan pembiayaan besar untuk biaya gaji pegawai yang banyak, tapi juga biaya operasionalnya.
Mungkin pemda bisa mengambil pelajaran dari riset-riset sederhana, bahwa ketika dilakukan Work From Home/WFH selama masa pandemi Covid-19 yang lalu, mungkin tak banyak mengganggu kinerja organisasi. Hal itu bisa menjadi pelajaran berbaharga bahwa di samping bisa memulai kerja berbasis IT menuju paper less, juga ternyata jumlah pegawai dapat dikurangi.
Saya pernah mengunjungi sebuah kota kecil/caunty, di negara bagian California saat diundang oleh ICMA Tahun 2004 lalu. Kota itu hanya memilik pegawai sekitar 40 orang saja. Kantor balai kotanya juga kecil, terletak di samping sebuah mall. Nama balaikota itu disebut Civic Plaza. Namun, saya sangat memahami bahwa kita belum akan mampu seperti itu disebabkan berbagai faktor. Tapi, setidaknya bisa jadi inspirasi betapa kita tak harus memiliki organisasi besar unruk menjadi hebat, bukankah small is beautiful?
Singapore sejak tahun 90-an sudah menerapkan program paperles yang mengurangi banyak biaya adminstrasi dan bekerja lebih cepat.
Baru-baru ini, saya juga membaca sebuah artikel bahwa UK, atau Inggris saat ini tengah melakukan uji coba kerja 4 hari dalam seminggu. Dengan moto 100 persen program, 40 persen kerja dan 100 persen hasil. Ini bisa menginspirasi semua pemda yang “berani ” untuk melakukan terobosan inovasi.
2. Menggali Pendapatan Asli Daerah.
Sebenarnya Pemda kabupaten/ kota masih memiliki potensi untuk menambah pedapatan asli daerahnya dari berbagai sumber yang ada, seperti dari pajak rumah makan, hotel dan restoran. Alasan pemilik umumnya adalah mereka takut dianggap mahal, karena harga ditambah dengan beban pajak. Karena itu seringkali petugas berdamai dengan hanya mematok bayaran bulanan. Mungkin saatnya dijalankan dengan sungguh-sungguh sesuai aturan dengan memasilitasi peralatan modern.
Pajak iklan juga bisa menjadi sumber pendapatan. Saya melihat, iklan calon anggota legislatif, DPD RI dan lain-lain yang digunakan untuk Pemilu Tahun 2019, masih banyak terpajang di sepanjang jalan, padahal sudah berlalu 3 tahun lamanya. Saya yakin itu tak dikenakan pajak.
Potensi iklan ini bisa dijual murah kepada perusahaan yang memerlukan iklan lebih luas, kendatipun dengan harga yang relatif lebih murah. Volume yang besar akan mendapatkan hasil yang memadai pada akhirnya. Demikian pula pajak dan berbagai jenis retribusi daerah lannya yang sebaiknya dievaluasi lebih serius, untuk intensifikasi bukan ekstensifikasi yang bisa menambah beban baru masyarakat.
3. Money follow Program
Agar anggaran terbatas itu tepat sasaran dan berhasil guna optimal, penajaman arah penggunaan anggaran kiranya mendapat perhatian serius. Alokasi anggaran berorientasi program benar-benar ditelisik lebih detil, agar memaksimalkan untuk masyarakat dan meminimalkan biaya untuk organisasi dan personel. Jangan lebih banyak untuk membuat team, panitia, surat perjalanan dinas, honor dan lainnya yang masih untuk membiayai organisasi pemerintah daerah sendiri.
4. Kreatif Menarik Dana dari Pemerintah.
Dalam perjalanan pemerintahan yang masih belum sepenuhnya menggunakan standar keadilan berbasis data, terbuka peluang untuk melakukan lobby atau katakan dengan bahasa sederhananya kemampuan menarik penempatan alokasi kegiatan pemerintah (pusat) ke daerah kita. Saya melihat, ada kabupaten/kota tertentu, karena kepala daerahnya orang tertentu pula, mendapatkan alokasi kegiaan yang lebih banyak di daerahnya.
Pengalaman saya di saat keuangan sulit, tapi bisa membangun ibukota Arosuka dan memindahkan masyarakat desa terisolir Sariakbayang ke lokasi baru, antara lain adalah dengan manarik alokasi berbagai kegiatan pusat dan provinsi ke Kabupaten Solok saat itu, bukan hanya dengan menambah DAU, karena DAU sudah dibatasi dengan variabel yang baku, meskipun masih bisa “diakali “.
5. Kegigihan dan Kemampuan Pejabat dalam Mencari Sumber-sumber Anggaran.
Pimpinan OPD, bukan hanya mampu membelanjakan atau merealisasi anggaran, tapi juga diberi tugas untuk mencari sumber sumber pendapatan daerah yang sah. Mereka perlu terus berfikir dan berusaha untuk mencari peluang anggaran atau mendapatkan alokasi kegiatan yang di tempatkan di daerahnya.
Dalam sistem desentralisasi ini, tak bisa dihindari terjadinya perebutan setiap daerah untuk menarik dana atau kegiatan ke daerahnya. Ini memerlukan akses dan kemampuan pimpinan daerah untuk meyakinkan pemerintah (pusat) supaya dapat meraih sebanyak banyaknya ke daerahnya masing-masing, tidak sebatas anggaran pokir legislatif, tapi semua bidang lainnnya.
Sesungguhnya masih banyak hal yang ingin saya berbagi dalam tulisan ini untuk membedah persoalan ketimpangan fiskal, peningkatan kemampuan anggaran dan lain menyangkut pembiayaan pembangunan daerah, tapi dalam kolom terbatas ini, mungkin beberapa poin yang saya kemukan bisa jadi bahan diskusi di daerah untuk mentriger semangat pemerintah daerah meningkatkan kemampuan belanja modalnya atau belanja pembangunan bagi masyarakat.
Diawal tulisan ini, saya mengetengahkan tentang banyaknya keunggulan kompetitif/competitif adventage dan keunggulan komperatif/comperatif advantage yang dimiliki Kabupaten Lima Puluh Kota dalam usaha terus meningkatkan kesejahterakan masyarakatnya yang kemudian dikaitkan dengan postur APBD-nya, adalah saya maksudkan bahwa penggunaan anggaran belanja (pembangunan), yang relatif kecil itu perlu dipertajam benar untuk menggairahkan basis usaha masyarakat yang sudah ada dan relatif kuat sejak lama.
Bagi daerah lain, barangkali masih berada pada kondisi mengajak dan menggairahkan masyarakat untuk mau dan mampu membangun dirinya sendiri, tapi bagi Kabupatem Lima Puluh Kota mungkin sudah berada pada tahap meningkatkan kemampuan, efisiensi, kemudahan.
Kelancaran, karena tanpa pemerintah sekalipun, ayam potong, ayam petelur, gambir, jeruk, songket, pariwisata dan sebagainya tetap saja akan dikerjakan masyarakat tanpa ada yang menggerakkan.
Pemerintahan Kabupaten Lima Puluh Kota, menurut saya, hampir sampai kepada kondisi, di mana pemerintah berfungsi sebagai fasilitator, mengarahkan dan mengemudi, tak banyak lagi mendayung. Oleh Ted Gabler dan Osbor dalam reinventing goverment , hal semacam ini disebut stear more rather than rowless.
Terima kasih
Gamawan Fauzi