Andes Robensyah, S.H., M.H
Dosen Ilmu Hukum Universitas Islam Sumatera Barat
Mata tertutup, mulut dibelenggu, inilah bayangan yang menjalar ketika pers kehilangan nyalinya. Di negeri yang mengaku demokratis, suara yang mencari kebenaran malah disingkirkan, jurnalis yang bertanya bukanlah tamu, melainkan sebuah ancaman. Jika pers tak lagi bebas bertanya, menelisik, dan menantang, maka demokrasi sedang sekarat dan rakyat hanya akan mendengar gema kosong dari kekuasaan.
Bayangkan ketika kita sedang berada di sebuah ruang yang gelap tanpa cahaya, tanpa suara, kemudian semua langit-langit tertutup tirai yang tebal. Di situ, suara-suara yang seharusnya membebaskan justru dibungkam, pertanyaan-pertanyaan yang seharusnya mengguncang kekuasaan malah diredam oleh ketakutan. Di negara yang menamakan dirinya demokrasi, pers tidak boleh hanya menjadi umat yang mengamini apa yang dikatakan penguasa saja. Ia harus menjadi petir yang memecah sunyi, memantulkan sinar kebenaran di celah-celah kekuasaan yang tersembunyi. Tanpa pers yang merdeka, demokrasi hanyalah panggung kosong yang mengumbar janji-janji megah tanpa saksi, kekuasaan tanpa bayang-bayang yang menantang, rakyat tanpa kata.
Kedaulatan pers bukanlah hanya sekadar hak untuk bertanya atau menulis saja, tapi hak untuk mendobrak tirai, menerobos bisu. Dan ketika pers disentuh oleh nyali kekuasaan yang takut terhadap kritik, maka sesungguhnya demokrasi itu sendiri sedang dalam bahaya, bukan karena malapetaka luarnya, tetapi kerana kebisuannya sendiri.
Kebebasan berbicara bukanlah sekadar kata dalam konstitusi saja, ia adalah nyawa dari demokrasi itu sendiri. Ketika setiap individu punya ruang untuk bersuara, menyatakan kritik, mempertanyakan kebijakan, rakyat bukan lagi penonton pasif, melainkan bagian aktif dari roda pemerintahan.
Suara yang bebas memungkinkan munculnya gagasan baru, memperlihatkan cacat kebijakan, bahkan menggagalkan tirani sebelum ia menjalar. Tanpa kebebasan berbicara, negara demokrasi hanyalah panggung tanpa dialog, para pemimpin tak tersentuh kritik, kesalahan tak diperbaiki, dan rakyat tak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi. Sebaliknya, dalam demokrasi yang sehat, suara-suara yang keras pun punya tempat, karena pelurusan arah, transparansi, dan akuntabilitas bergantung pada kemampuan masyarakat menyuarakan ketidakadilan, kekeliruan, dan kebohongan.
Dalam sebuah demokrasi sejati, pers bukanlah sekadar penyampai informasi saja, ia adalah pengawal kepentingan publik, yakni kekuasaan yang diawasi agar tetap akuntabel. Namun pekan ini, publik kembali dihadapkan pada satu pertanyaan menyakitkan, yaitu sejauh mana kemerdekaan pers masih dihormati?, ketika seorang jurnalis yang bertanya tentang program “Makan Bergizi Gratis” (MBG) justru kehilangan kartu liputannya di Istana.
Insiden ini jauh melampaui sekadar pencabutan kartu pers saja, ini adalah simbol bagaimana suara kritis dapat dibungkam sebelum sempat menyebarkan argumennya secara luas. Jurnalis CNN Indonesia, Diana Valencia, hanya menjalankan tugasnya, bertanya langsung kepada Presiden Prabowo Subianto mengenai isu keracunan massal yang diduga terkait dengan program Makan Bergizi Gratis (MBG).