Oleh: Ronny P. Sasmita (Senior Analis Indonesia Strategic and Economics Action Institution)
Kisah Hamas bukan sekadar tentang sebuah gerakan Islam yang lahir dari perlawanan dan keputusasaan. Hamas adalah cermin dari perjalanan panjang perjuangan Palestina yang dulu menjadi simbol perlawanan antikolonial, tapi kini berubah menjadi kisah pilu akibat korupsi, perpecahan, dan kemunafikan tatanan internasional. Dari kelahirannya di tengah Intifada pertama hingga berujung pada Gaza Plan tahun 2025 ini, perjalanan Hamas mencerminkan bagaimana agensi politik di Palestina tumbuh, lalu perlahan babak-belur.
Hamas lahir pada Desember 1987, di tengah gelombang Intifada pertama (pemberontakan rakyat Palestina terhadap pendudukan Israel yang sudah berlangsung dua dekade). Gerakan ini merupakan turunan langsung dari gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir, yang sejak lama berfokus pada pendidikan agama dan kegiatan sosial. Awalnya, Hamas tidak dikenal sebagai organisasi militer, melainkan jaringan sosial keagamaan yang aktif mengelola sekolah, rumah sakit, lembaga zakat, dan bantuan bagi keluarga korban konflik.
Ironisnya, pada awal kemunculannya, Israel justru menoleransi kehadiran Hamas, bahkan dalam batas tertentu mendukung aktivitas Hamas. Motifnya pragmatis, melemahkan pengaruh Fatah dan PLO yang sekuler dan nasionalis. Dengan menumbuhkan kekuatan Islamis di masyarakat, Israel berharap perlawanan Palestina terpecah dan menjadi lebih mudah dikendalikan. Perhitungan Israel kala itu mungkin berhasil untuk jangka pendek, tapi justru melahirkan kekuatan yang di kemudian hari menjadi mimpi buruk bagi Israel sendiri.
Selama dekade 1990-an, Hamas menolak arah politik yang diambil Fatah dan Yasser Arafat. Saat Fatah menandatangani Perjanjian Oslo pada 1993 dan membentuk Otoritas Palestina, Hamas menilainya sebagai pengkhianatan terhadap perjuangan. Bagi Hamas, perundingan dengan Israel hanyalah penundaan bentuk baru dari penjajahan. Namun di lapangan, Hamas tidak hanya berteriak menentang, mereka membangun, dari lembaga sosial hingga sistem bantuan bagi warga miskin di Gaza dan kamp pengungsi. Reputasi ini membuat mereka dipandang sebagai kekuatan politik yang bersih dan tulus, sementara Fatah semakin dicap korup dan elitis.
Kekecewaan rakyat terhadap Fatah makin menumpuk pada awal 2000-an. Intifada kedua meletus, Israel menggempur kota-kota Palestina, dan kepemimpinan Fatah tampak semakin lemah dan kelelahan. Setelah kematian Yasser Arafat pada 2004, Mahmoud Abbas mencoba menghidupkan kembali diplomasi, tapi hasilnya nihil. Permukiman Yahudi terus meluas, tembok pemisah dibangun, dan kebebasan bergerak rakyat Palestina semakin terkekang. Di tengah stagnasi tersebut, Hamas menawarkan citra baru, yakni perlawanan, kesederhanaan, dan ketegasan moral.
Pada pemilu legislatif 25 Januari 2006, Hamas maju lewat “Daftar Perubahan dan Reformasi” dan menang telak, 74 dari 132 kursi. Fatah, yang selama ini menjadi simbol perjuangan nasional Palestina, untuk pertama kalinya tumbang secara demokratis. Kemenangan tersebut adalah akumulasi dari dua hal, yakni keputusasaan rakyat terhadap elite lama dan keyakinan bahwa Hamas bisa membawa arah baru.