Namun kemenangan tersebut justru menjadi titik balik. Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Israel menolak hasil pemilu dengan alasan Hamas adalah organisasi teroris yang menolak mengakui Israel. Bantuan internasional dihentikan, dana pajak dibekukan, dan kontak diplomatik diputus. Dunia yang selama ini mengajarkan demokrasi menolak ketika demokrasi tidak menghasilkan pemenang yang mereka sukai.
Ketegangan antara Hamas dan Fatah pun pecah. Pada 2007, perang saudara singkat terjadi di Gaza. Dalam hitungan hari, Hamas berhasil mengambil alih kekuasaan, sementara Fatah melarikan diri ke Tepi Barat. Sejak saat itu, Palestina terbelah, Gaza di bawah kendali Hamas, dan Tepi Barat di bawah Otoritas Palestina yang dikuasai Fatah. Perpecahan ini menjadi luka permanen yang tak kunjung sembuh, dan sejak itu pula, negara Palestina hanya ada di atas kertas.
Terisolasi secara politik dan ekonomi, Hamas mulai mencari jalan keluar melalui poros lain. Iran melihat kesempatan strategis tersebut dan menjadikan Hamas bagian dari jaringan perlawanan anti-Israel bersama Hizbullah di Lebanon. Dukungan dana, pelatihan militer, dan teknologi roket mulai mengalir. Qatar kemudian muncul sebagai penyokong finansial dan tuan rumah politik bagi para pemimpin Hamas, sementara Turki di bawah Recep Tayyip Erdoğan memberikan dukungan diplomatik secara terbuka. Perlahan tapi pasti, Hamas berpindah dari gerakan lokal menjadi bagian dari sumbu geopolitik Iran-Qatar-Turki yang menantang blok pro-Barat di Timur Tengah.
Namun aliansi ini tidak gratis. Bergantung pada dana dan logistik dari luar membuat Hamas kehilangan ruang gerak politiknya sendiri. Di Gaza, mereka menghadapi realitas berupa blokade total Israel, krisis listrik, ekonomi yang lumpuh, dan pengangguran yang tinggi. Banyak warga mulai melihat Hamas bukan lagi sebagai simbol harapan, tetapi sebagai kekuasaan yang menindas dan nyaris gagal. Sementara di Tepi Barat, Fatah pun tak lebih baik, korup, pasif, dan terlalu dekat dengan Israel.
Di tengah keputusasaan tersebut, pada 7 Oktober 2023, Hamas melancarkan serangan besar yang mengejutkan dunia. Ribuan roket ditembakkan ke Israel, pasukan Hamas menembus pagar perbatasan Gaza, menewaskan dan menyandera ratusan warga Israel. Serangan tersebut dianggap kegagalan intelijen terbesar dalam sejarah Israel. Untuk sesaat, Hamas tampak seperti telah membalikkan keadaan. Tapi euforia itu tidak lama. Israel membalas dengan kekuatan penuh.
Gaza berubah menjadi puing. Serangan udara dan darat selama berbulan-bulan menewaskan puluhan ribu warga sipil, menghancurkan rumah sakit, sekolah, dan kamp pengungsi. Hamas memang masih bertahan di bawah tanah, tapi kota di atasnya lenyap. Dunia mengutuk kekerasan, tapi tak berbuat apa-apa. Amerika Serikat memberi Israel dukungan penuh. Eropa diam. Negara-negara Arab menyesali, tapi tak bertindak. Iran dan sekutunya hanya bicara lantang tanpa turun tangan. Sekali lagi, Palestina sendirian.
Dua tahun kemudian, pada 2025, Israel bersama Amerika Serikat dan beberapa negara Arab meluncurkan Gaza Plan, sebuah proyek politik dan rekonstruksi yang diklaim sebagai solusi pascaperang. Di bawah rencana ini, Gaza akan dikelola oleh konsorsium internasional yang mencakup Mesir, Uni Emirat Arab, dan Arab Saudi. Hamas dikeluarkan sepenuhnya dari struktur kekuasaan. Fatah diberi peran simbolik di Tepi Barat, tapi tanpa kendali nyata. Gaza Plan dengan kata lain menandai akhir dari pemerintahan Palestina yang otonom.