Dengan hadirnya Gaza Plan, solusi dua negara resmi mati. Tidak ada lagi entitas Palestina yang benar-benar berdaulat. Gaza kini adalah wilayah administrasi internasional di bawah pengawasan Israel, sementara Tepi Barat tetap terfragmentasi dan dikontrol ketat oleh militer Israel serta Otoritas Palestina yang kehilangan legitimasi. Kedua faksi, Hamas dan Fatah, sama-sama hancur.
Tragedi ini menyingkap kemunafikan dunia. Ketika Hamas menang pemilu 2006, dunia menolak. Ketika Gaza dibom habis pada 2023, dunia kembali diam. Demokrasi hanya dihormati jika hasilnya sesuai kepentingan mereka. Hak asasi manusia hanya berlaku jika pelanggarnya bukan sekutu mereka.
Kini yang tersisa dari Palestina adalah ruang kosong tanpa arah, Gaza yang hancur dan dikendalikan dari luar, Tepi Barat yang kehilangan harapan, dan jutaan pengungsi yang hidup dalam ketidakpastian. Kebangkitan Hamas dulu pernah melambangkan harapan atas perlawanan dan keadilan. Tapi kejatuhannya menandai berakhirnya satu era, era keyakinan bahwa Palestina masih punya masa depan politik.
Dengan Gaza Plan, Palestina tak lagi menjadi subjek, melainkan objek dari kompromi geopolitik regional. Fatah tak punya pengaruh, Hamas tak punya kekuatan, dan rakyat Palestina kehilangan representasi. Bersama dua kekuatan yang lumpuh tersebut, mati pula gagasan two state solution, yang selama tiga dekade hanya menjadi jargon kosong diplomasi internasional dan disuarakan secara lantang di PBB oleh Prabowo baru-baru ini.
Pada akhirnya, kisah Hamas adalah kisah tentang dunia yang mengkhianati Palestina, bukan hanya lewat peluru dan sanksi, tetapi lewat pembiaran dan kemunafikan. Hamas adalah kisah tentang bagaimana sebuah gerakan yang lahir dari penderitaan rakyat akhirnya menjadi korban dari permainan kekuasaan global. Dan di balik reruntuhan Gaza yang sunyi, mungkin hanya tersisa satu kebenaran pahit bahwa perjuangan tanpa dunia yang peduli hanyalah jalan panjang menuju kekalahan. (*)