Oleh: Saiful Maarif (Asesor SDM Aparatur Kemenag)
Di tengah ancaman deforestasi yang terus menggerus kelestarian alam Indonesia, gerakan hutan wakaf muncul sebagai solusi filantropi Islam yang inovatif. Pada April 2025, Kementerian Agama (Kemenag) melalui program Green Waqaf menanam satu juta pohon serentak dalam peringatan Hari Bumi, sekaligus membentuk Forum Hutan Wakaf Indonesia yang melibatkan delapan lembaga nazhir dan komunitas.
Inisiatif ini, yang didukung Badan Wakaf Indonesia (BWI) dan Muslim for Shared Action on Climate Impact (MOSAIC), tidak hanya menjawab tantangan perubahan iklim global—di mana suhu bumi telah naik hingga 1,45 derajat Celsius pada 2023—tetapi juga selaras dengan visi RPJMN 2025-2029 untuk pembangunan berkelanjutan menuju Indonesia Emas 2045.
Namun, di balik potensi besarnya, implementasi hutan wakaf masih dihadapkan pada berbagai tantangan yang menuntut keseriusan umat dan pemerintah.
Investasi Abadi untuk Alam
Islam mengajarkan bahwa manusia adalah khalifah di bumi, bertanggung jawab menjaga keseimbangan alam sebagai rahmatan lil alamin. Dalam Surat Ar-Rum ayat 41, Allah SWT berfirman, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, agar Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) apa yang telah mereka kerjakan, supaya mereka kembali (ke jalan yang benar).”
Wakaf hutan, sebagai bentuk wakaf produktif, mewujudkan prinsip ini dengan menahan aset tanah secara abadi untuk dikembangkan menjadi hutan lestari, yang hasilnya dimanfaatkan untuk kesejahteraan umat tanpa mengubah status wakafnya.
Konsep ini bukan hal baru. Sejak zaman Rasulullah SAW, wakaf telah menjadi instrumen sosial-ekonomi, dan kini berevolusi menjadi hutan wakaf di Indonesia. Saat ini, setidaknya terdapat tiga lokasi percontohan di Aceh, Bandung, dan Bogor, di mana lahan dibeli dari dana wakaf atau diwakafkan langsung untuk reboisasi.