Manfaat hutan wakaf pun berlipat, secara ekologis (penyerapan karbon, pencegahan banjir), ekonomi (potensi carbon trading dan pemberdayaan masyarakat sekitar), serta sosial (edukasi lingkungan berbasis agama). Di Padang, misalnya, Roadshow Wakaf Hutan 2025 oleh IPB, BWI, dan Kemenag menghasilkan kesepakatan kolaborasi untuk mengatasi keterbatasan lahan di Sumatera Barat (Sumbar). Ini sejalan dengan program Ekoteologi Kemenag yang mengintegrasikan nilai spiritual dengan aksi nyata pelestarian bumi.
Realitas Pahit
Meski potensinya besar, Indonesia telah kehilangan hampir 25 persen tutupan hutannya dalam 25 tahun terakhir, terutama akibat konversi lahan untuk industri. Hutan wakaf bisa menjadi benteng, tetapi implementasinya terhambat oleh beberapa tantangan struktural. Pertama, kurangnya pemahaman dan edukasi masyarakat; banyak yang masih menganggap wakaf terbatas pada masjid, madrasah, dan makam, padahal hutan wakaf bisa dimulai dari donasi 50.000 rupiah per meter persegi melalui aplikasi Satu Wakaf Indonesia.
Kedua, keterbatasan sumber daya manusia (SDM) dan dana; pengelolaan hutan memerlukan keahlian profesional, sementara nazhir sering kekurangan tenaga ahli. Ketiga, regulasi yang belum harmonis; meski UU Wakaf mendukung, belum ada aturan khusus untuk wakaf hutan oleh negara, menyebabkan perbedaan interpretasi antar daerah. Keempat, isu transparansi dan kepercayaan; minimnya laporan akuntabel dapat menurunkan partisipasi umat. Tantangan ini diperparah oleh krisis iklim global, di mana Indonesia harus berkontribusi pada target netral karbon 2060.
Pendapat para ahli semakin menggarisbawahi urgensi ini. Ilmuwan dunia ternama seperti Jean-François Bastin dan timnya dari Crowther Labs, yang menerbitkan studi di jurnal Science (2019), memperkirakan bahwa restorasi pohon secara global bisa menambah 0,9 miliar hektare tutupan pohon, menyimpan 205 gigaton karbon—setara dengan dua pertiga emisi sejak era industri—dan hutan wakaf bisa menjadi model komunitas berbasis filantropi untuk mewujudkannya.
Hal ini sejalan dengan pendapat Odeh Al-Jayyousi, pakar keberlanjutan dan mantan Chief of Sustainable Development di UNEP. Al Jayyousi menekankan bahwa konsep wakaf hijau seperti hutan wakaf selaras dengan ajaran Islam tentang khalifah, di mana kepunahan spesies bisa meluas ke manusia jika model pembangunan tidak berubah, dan ini harus menjadi panggilan untuk inovasi (ijtihad) berbasis alam dan budaya.
Intinya, para ahli memberi garis tebal perlunya semua pihak bersegra mengambil tindakan untuk merespons dampak kerusakan akibat tindakan manusia pada alam. Dalam konteks tersebut, hutan wakaf bisa berbuat maksimal