Oleh : Nurul Khotimah
Dalam Ihya Ulumuddin, Imam Al-Ghazali menegaskan bahwa amal yang diterima Allah bukanlah yang paling besar atau paling ramai dilihat orang, tetapi yang paling bersih niatnya. Amal yang tampak kecil, namun dikerjakan dengan hati tulus, bisa lebih berharga daripada amal besar yang disertai pamrih. Karena di sisi Allah, ukuran bukanlah pada jumlah, melainkan pada kemurnian niat di dalam dada.
Keikhlasan itu sulit, sebab manusia cenderung ingin diakui. Hati senang ketika dipuji, dan kecewa ketika diabaikan. Al-Ghazali bahkan menyebut bahwa ujian terbesar bagi amal adalah rasa ingin terlihat baik di mata manusia. Maka, orang ikhlas adalah yang mampu berbuat baik meski tidak ada satu pun mata yang memandangnya.
Rasulullah ﷺ bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa dan harta kalian, tetapi melihat hati dan amal kalian.” Kalimat ini menegaskan bahwa inti amal bukan pada tampilan luar, tetapi pada niat yang tersembunyi. Jika niatnya murni karena Allah, maka amal itu akan bercahaya, sekecil apa pun bentuknya.
Salah satu cara melatih keikhlasan adalah dengan memperbanyak amal tersembunyi. Lakukan kebaikan tanpa nama, tanpa publikasi, tanpa berharap terima kasih. Seperti menolong tetangga diam-diam, atau bersedekah tanpa diketahui siapa pun. Dalam kesunyian itu, hati akan belajar bahwa cukup Allah yang tahu dan menilai.
Imam Al-Ghazali juga mengingatkan agar kita tidak tergesa-gesa mengaku ikhlas, sebab keikhlasan adalah karunia, bukan hasil usaha semata. Tugas kita hanyalah terus memperbaiki niat dan menyingkirkan pamrih duniawi sedikit demi sedikit. Hati yang jernih tidak muncul tiba-tiba, tapi tumbuh dari latihan panjang dan kejujuran diri.
Ketika seseorang sudah mencapai keikhlasan sejati, ia akan merasakan kedamaian yang tak bisa dijelaskan. Ia tak lagi peduli apakah orang tahu atau tidak, memuji atau mencela. Yang ia butuhkan hanyalah ridha Allah. Dan di saat itulah, amalnya menjadi ringan, tapi bernilai besar di sisi-Nya.
Wallahu A’lam Bishawab (*)