Oleh: Ronny P. Sasmita (Analis Senior Indonesia Strategic and Economics Action Institution)
Selama satu dekade terakhir, ekonomi Indonesia terbilang tumbuh stabil. Angka pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) rata-rata bertahan di kisaran lima persen per tahun, inflasi relatif terkendali, dan nilai tukar cukup stabil. Di atas kertas, stabilitas makroekonomi ini tampak menjanjikan. Namun di bawah permukaannya, terdapat paradoks yang cukup mengkhawatirkan, yakni pertumbuhan ekonomi yang tidak sebanding dengan penciptaan lapangan kerja. Fenomena inilah yang oleh banyak ekonom disebut sebagai jobless growth, pertumbuhan tanpa pekerjaan.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan tingkat pengangguran terbuka selama 2013–2023 relatif stagnan di kisaran 5–6 persen. Namun angka tersebut terkesan cukup klise. Jika dilihat lebih dalam, sekitar 30–35 persen angkatan kerja kita tergolong rentan, bekerja tanpa upah, berusaha sendiri tanpa bantuan, atau pekerja informal tanpa perlindungan. Hingga 2024, proporsi pekerja informal masih di atas 58 persen, nyaris tidak berubah dibandingkan satu dekade sebelumnya. Artinya, sebagian besar warga bekerja, tetapi tanpa jaminan sosial, kepastian pendapatan, atau akses ke pekerjaan yang layak.
Lebih jauh lagi, struktur penyerapan tenaga kerja kita juga menunjukkan perubahan arah yang mengkhawatirkan. Porsi sektor industri manufaktur terhadap total tenaga kerja justru menurun dari sekitar 15 persen pada 2012 menjadi 13 persen pada 2023. Sementara sektor jasa tumbuh cepat, namun sebagian besar berupa pekerjaan berproduktivitas rendah seperti perdagangan kecil dan jasa pribadi. Pergeseran ini menggambarkan sinyal-sinyal premature tertiarization, ekonomi bergeser ke sektor jasa sebelum industrialisasi mencapai kematangan.
Kondisi ini mencerminkan apa yang oleh Dani Rodrik sebut sebagai premature deindustrialisation, negara yang kehilangan basis manufakturnya terlalu cepat sebelum mencapai level pendapatan tinggi. Indonesia tampaknya menuju arah tersebut. Di sisi lain, ketimpangan pendapatan juga semakin melebar. Upah pekerja menengah cenderung stagnan, sementara kelompok profesional dan manajerial menikmati kenaikan pendapatan lebih besar. Ketimpangan regional pun menyolok, Jawa tetap menjadi pusat kesempatan kerja formal, sementara luar Jawa bergantung pada sektor pertanian dan jasa informal.
Dalam hemat saya, akar masalahnya juga bersifat struktural. Selama satu dekade terakhir, arah kebijakan ekonomi Indonesia cenderung konservatif, lebih menekankan stabilitas makro daripada penciptaan lapangan kerja. Defisit anggaran dijaga ketat di bawah 3 persen PDB, inflasi dipertahankan rendah, dan kebijakan fiskal diarahkan untuk menjaga kepercayaan investor. Pendekatan ini berhasil menciptakan stabilitas, tetapi membatasi kemampuan negara untuk memperluas investasi publik yang berorientasi pada penciptaan kerja. Pertumbuhan ekonomi pun didominasi sektor padat modal dan berbasis sumber daya alam, bukan sektor padat karya yang menyerap banyak tenaga kerja.
Dalam ranah kebijakan ketenagakerjaan, kekuatan perundingan pekerja juga semakin lemah. Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) yang disahkan tahun 2020 memang menyederhanakan regulasi dan mendorong kemudahan investasi, tetapi di sisi lain memperlonggar aturan pemutusan hubungan kerja, mengurangi pesangon, dan melemahkan posisi serikat buruh. Situasi ini mirip dengan yang digambarkan Pablo Pérez Ahumada dalam bukunya Building Power to Shape Labor Policy (2023) tentang Chili, bahwa dalam rezim ekonomi neoliberal, kebijakan ketenagakerjaan sering dibentuk oleh dominasi asosiasi pengusaha dan lemahnya kekuatan kolektif buruh.
Adrián TodolÃ-Signes dalam Labour Law and Economic Policy (2024) juga menunjukkan bahwa perlindungan tenaga kerja yang kuat sebenarnya tidak menghambat pertumbuhan, justru memperkuat produktivitas jangka panjang. Negara-negara dengan hukum ketenagakerjaan kokoh memiliki tenaga kerja lebih terampil, loyal, dan berorientasi pada peningkatan nilai tambah. Namun di Indonesia, perlindungan kerja kerap dianggap beban, bukan investasi produktif. Akibatnya, perusahaan enggan berinvestasi dalam pelatihan dan peningkatan keterampilan karena hubungan kerja bersifat jangka pendek.