Oleh: Muhammad Alghiffari Aidira
Siswa MAN IC Padang Pariaman
Di tengah riuh Kota Padang yang kian padat, berita tentang tawuran remaja datang seperti badai yang tak kunjung reda. Tahun 2023, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan mencatat 88 pelajar SMP terlibat tawuran. Tahun berikutnya, 39 remaja ditahan polisi. Tahun ini, satu nyawa melayang, lima remaja ditangkap. Di tanah yang dikenal dengan surau dan musyawarahnya, kekerasan ini terasa seperti luka pada wajah peradaban Minangkabau.
Fenomena ini menohok nalar. Bukankah Sumatera Barat berdiri di atas falsafah luhur Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK)? Sebuah pandangan hidup yang menautkan adat dengan agama, moral dengan akal sehat, dan sosial dengan spiritual. Tapi mengapa nilai itu seolah meredup di kalangan muda hari ini?
Tawuran: Simptom Krisis Identitas
Remaja adalah masa mencari diri—fase di mana dorongan untuk diakui dan diterima begitu kuat. Di sinilah solidaritas kelompok sering berubah bentuk menjadi geng, dan geng menjadi arena ego. Studi-studi mutakhir (Zainuddin dkk., 2013; Mahardika dkk., 2024) menunjukkan bahwa tawuran bukan sekadar soal amarah, tapi krisis identitas yang dipupuk oleh rasa dendam, tekanan sebaya, lemahnya pengawasan orang tua, dan paparan konten kekerasan di media sosial.
Lebih dari sekadar benturan fisik, tawuran adalah gejala sosial. Ia mengoyak rasa aman, menanam trauma, dan mematikan harapan. Upaya represif seperti razia dan patroli sekolah memang menenangkan situasi sejenak, tapi seperti menutup luka dalam dengan plester luar. Api yang padam di jalanan sering kali masih membara di ruang obrolan WhatsApp atau komentar TikTok.
Kembali ke Kearifan Minang
Minangkabau sejatinya punya pagar nilai yang kokoh. Dalam adat, hidup bukan untuk menantang, melainkan menjaga marwah. Pepatah lama mengatakan, musuah indak dicari, basuo pantang diilakkan. Ungkapan yang mengandung makna mendalam: waspada tanpa permusuhan, kuat tanpa arogan.
Salah satu jalan kultural yang bisa dihidupkan kembali adalah Silek Tuo. Seni bela diri ini bukan sekadar teknik pertahanan, tapi sarana pendidikan karakter. Ia mengajarkan disiplin, kesabaran, dan penghormatan terhadap sesama. Penelitian Yusmar (2019) menunjukkan bahwa latihan Silek Tuo meningkatkan kecerdasan emosional dan kontrol diri remaja. Artinya, di dalam setiap gerak silat, tersimpan terapi bagi jiwa muda yang gelisah.
Membangun kesadaran anti tawuran berarti mengembalikan remaja kepada akar nilai. ABS-SBK bukan slogan di baliho, tapi panduan moral yang bisa dihidupkan melalui pendidikan, komunitas, dan kegiatan budaya yang menyatu dengan dunia mereka.
Menemukan Jalan Baru di Dunia Digital
Remaja hari ini hidup di dunia dua dimensi: nyata dan maya. Maka upaya mencegah tawuran juga harus menembus layar. Media sosial yang sering jadi pemicu bisa disulap menjadi ruang inspirasi.
Bayangkan kampanye digital bertagar #SumBarAntiTawuran, berisi video pendek tentang makna Silek Tuo, kisah inspiratif mantan pelaku yang berubah, atau meme edukatif yang ringan tapi mengena. Cara seperti ini jauh lebih efektif menyentuh remaja ketimbang ceramah formal.
Beberapa peneliti (Octaviani & Siagian, 2024; Putri & Erianjoni, 2025) bahkan merekomendasikan penggunaan platform digital sebagai sarana edukasi dan pelaporan anonim bagi siswa. Aplikasi yang memungkinkan pelajar, guru, dan orang tua untuk mendeteksi potensi konflik sebelum meledak, bisa menjadi bentuk early warning system yang kontekstual dan humanis.
Esport dan Kreativitas sebagai Kanal Energi Positif
Tidak semua energi remaja harus ditekan—sebagian besar justru perlu disalurkan. Di sinilah peran kompetisi digital seperti esport bisa menjadi jembatan. Riset terbaru (Wijaya & Hapsari, 2025) menunjukkan bahwa remaja yang aktif dalam esport terorganisir memiliki tingkat agresivitas 22% lebih rendah dibandingkan mereka yang bermain tanpa aturan. Nilai sportivitas, strategi, dan kerja sama tim yang tumbuh di dalamnya menjadi vaksin sosial terhadap kekerasan.
Bayangkan jika sekolah-sekolah di Sumatera Barat rutin mengadakan turnamen esport, lomba konten kreatif, atau festival budaya digital bertema ABS-SBK. Tradisi dan teknologi bisa berpadu, melahirkan ruang ekspresi baru yang produktif.
Menjahit Nilai, Menata Masa Depan
Menangani tawuran remaja bukan urusan polisi atau guru semata. Ia tanggung jawab kolektif: keluarga, sekolah, pemerintah, dan lembaga adat. Pendekatan yang dibutuhkan bukan lagi represif, tapi preventif—yang menyentuh akar moral, sosial, dan digital sekaligus.
Menghidupkan ABS-SBK di era TikTok dan Instagram bukan mustahil. Yang dibutuhkan hanyalah kemauan untuk menjembatani nilai lama dengan bentuk baru. Ketika remaja Minangkabau kembali menemukan jati diri mereka dalam adat dan teknologi, maka Silek Tuo bukan lagi sekadar warisan, tapi jalan hidup. Dan di sanalah masa depan damai itu mulai disulam, benang demi benang. (*)