Oleh: Zennis Helen (Dosen Hukum Tata Negara, Pemilu, dan Kepartaian Fakultas Hukum Unes Padang)
Tulisan Gugun El Guyani di harian nasional, Senin (13/10) berjudul” Perahu Retak Kepala Daerah”, sangat penting direspons. Saya setuju dengan pendapat Gugun, terutama terkait dengan dua faktor Y penyebab konflik ketegangan para kepala daerah. Faktor pertama, nihilnya pembagian kewenangan yang tegas dan faktor kedua, pragmatisme parpol di tingkat lokal. Terhadap dua faktor ini saya akan tambahkan lagi dalam tulisan ini.
Namun, terkait dengan solusi yang ditawarkan Gugun bahwa pilkada hanya memilih calon kepala daerah yang diusulkan parpol atau independen. Mekanisme pemilihan kepala daerah harus terpisah, berasal dari unsur nonparpol, setelah kepala daerah terpilih. Kepala daerah diberikan kewenangan penuh memilih pendampingnya. Untuk yang satu ini, saya tidak setuju dan sependapat dengan Gugun. Dua poin inilah yang saya tambah dan saya bantah dalam tulisan ini.
Tambahan Penyebab Keretakan
Keretakan kepala daerah dengan pasangannya sudah kerap terjadi sejak pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung yang dimulai pertama kali pada tahun 2005. Keretakan itu jamak terjadi di ujung masa jabatan, atau setidaknya pada tahun ke-3 dan ke-4 usia pemerintahan. Kepala daerah dan wakil kepala daerah, sering tidak sejalan lagi atau sudah berbeda haluan. Sebab, pilkada akan digelar pada dua tahun atau satu tahun berikutnya.
Dalam penempatan jabatan kepala dinas ”basah” atau dinas ”mata air” didominasi oleh kepala daerah. Sementara, wakil kepala daerah diberikan jatah kepala dinas ”kering” atau ”air mata”. Itu pun kalau ada. Jika tidak, wakil kepala daerah hanya sebagai tukang resmikan proyek itu atau sebagai penggunting pita saja.
Namun, saat ini, khusus kabupaten/kota yang melaksanakan Pilkada 2024 lalu, keretakan kepala daerah dengan pasangannya sudah terjadi sejak awal bulan madu kekuasaan. Ini memang agak menarik untuk dikaji dan apa akar penyebabnya. Selain dua faktor yang telah dikemukakan Gugun, saya ingin menambahkan empat faktor lagi penyebab keretakan kepala daerah di tahun pertama kekuasaan. Pertama, ketidakjelasan pembagian biaya dan ongkos pilkada.
Pertama, ongkos dan biaya pilkada sangat mahal bahkan melangit. Mulai dari mahar parpol, yang tidak ada kejelasan tarifnya dan hanya bersetuju di ruang-ruang gelap parpol, biaya kampanye tatap muka yang tak sedikit menggelar pertemuan dengan masyarakat, belum lagi spanduk, baliho, poster, politik uang jelang pemilihan dan pada hari H pemilihan, hingga biaya sengketa ke Mahkamah Konstitusi (MK).