Oleh : Okkie Fiandri (Public Finance and Public Policy, Melbourne, Australia)
Sumatera Barat kini punya tiga “prestasi” besar: inflasi tinggi, pengangguran tinggi, dan pertumbuhan ekonomi yang lambat. Ironisnya, di tengah semua itu, provinsi ini juga termasuk 10 besar penghasil lulusan S3 terbanyak di Indonesia. Sebuah paradoks yang menarik di tanah yang penuh dengan orang pemikir, kebijakan publik nya justru sering terlihat kehabisan akal.
Data dari Kemendagri menunjukkan inflasi Sumatera Barat berada di peringkat keempat tertinggi nasional, harga bahan pokok naik, terutama beras, cabai dan minyak goreng, sementara upah dan kesempatan kerja seolah jalan di tempat. Badan Pusat Statistik (BPS) menambahkan bumbu lain: tingkat pengangguran terbuka (TPT) mencapai 5,69%, juga berada di peringkat atas nasional.
Sumatera Barat seperti mobil tua di tanjakan: bunyinya keras, tapi lajunya tetap di situ-situ saja. Pertumbuhan ekonominya di bawah 4 persen, seolah tersandera rutinitas dan kurangnya arah kebijakan yang jelas. Sementara itu, satu hal yang menonjol justru bukan inovasi, tapi perbedaan gaya pemimpin, satu diam dalam bayangan, satu sibuk dalam sorotan kamera. Setidaknya itu yang masyarakat lihat saat ini, dan akhirnya rakyat pun tetap jadi penonton, sembari menunggu kapan panggung itu berubah menjadi kerja nyata.
Paradoks Negeri Cendekia
Sumatera Barat sejatinya memiliki modal sosial dan intelektual luar biasa. Sejarah mencatat nama-nama besar seperti Mohammad Hatta, Natsir, Hamka, dan Tan Malaka, para pemikir yang tidak hanya pandai beretorika, tetapi juga melahirkan kebijakan dan tindakan nyata.
Kini, generasi baru akademisi, peneliti, dan profesional bermunculan dari kota serta kabupaten kecil di Sumatera Barat, tidak lagi hanya dari Kota Padang dan Bukittinggi, tetapi juga dari daerah penyangga seperti Solok, Dharmasraya, dan Tanah Datar. Bahkan, tidak sedikit di antara mereka yang menempuh pendidikan doktoral di kampus-kampus bergengsi dunia.
Mereka memiliki kemampuan teknis dan analitis yang tinggi. Namun, sayangnya potensi itu belum diubah menjadi energi pembangunan dan keberlanjutan. Lulusan S3 masih lebih sering menjadi pembicara seminar daripada mitra strategis pemerintah daerah.