Paradoks ini nyata: di satu sisi Sumatera Barat memiliki banyak pemikir, tapi di sisi lain tak punya cukup ruang bagi mereka untuk berpikir bersama pemerintah. Di sinilah akar stagnasi itu tumbuh bukan karena rakyatnya tak mampu, tapi karena pemerintah belum siap membuka ruang kolaborasi yang seluas-luasnya.
Ekonomi yang Tak Beranjak
Jika menelusuri struktur ekonomi Sumatera Barat, penyebabnya cukup jelas. Perekonomian provinsi ini masih didominasi oleh sektor primer: pertanian, perkebunan, dan perikanan. Sektor ini penting, tapi rentan terhadap cuaca, fluktuasi harga, dan produktivitas yang stagnan.
Sementara itu, industri pengolahan dan sektor jasa modern tumbuh sangat lambat. Padahal di sinilah nilai tambah, lapangan kerja, dan inovasi seharusnya lahir. Produk pertanian masih dijual mentah, tidak diolah menjadi komoditas bernilai tinggi. Petani dan UMKM tetap berada di rantai bawah, sementara daya serap tenaga kerja berpendidikan tinggi minim.
Masalahnya, kebijakan ekonomi Sumatera Barat belum fokus ke sana. Upah minimum naik lambat, investasi produktif terbatas, dan industrialisasi nyaris tidak berjalan. Sementara inflasi melonjak terutama di sektor pangan akibat distribusi yang buruk dan pasokan yang tidak stabil.
Laporan Bank Indonesia mencatat bahwa pada triwulan II 2024 inflasi Sumatera Barat mencapai 4,04% (yoy), salah satu yang tertinggi di Pulau Sumatera. Baru pada triwulan berikutnya menurun menjadi 1,52%, setelah adanya intervensi stok pangan dan normalisasi distribusi. Namun fluktuasi ini menunjukkan lemahnya pengendalian harga dan ketergantungan terhadap pasokan luar daerah.
Kelemahan Tata Kelola dan Politik
Masalah Sumatera Barat bukan semata-mata ekonomi saja, tetapi juga tata kelola dan kepemimpinan publik. Di banyak daerah, birokrasi berjalan seperti mesin usang yang enggan diperbaiki. Kebijakan sering disusun tanpa basis riset dan tanpa mendengarkan suara akademisi dan pelaku ekonomi lokal.