Pemerintah daerah lebih sering menggelar seminar ketimbang membangun kemitraan riset. Padahal, di sinilah kunci perubahan: menjadikan para intelektual bukan hanya penonton, tapi pelaku nyata. Pemerintah perlu menyatukan kampus, birokrasi, dan pelaku ekonomi dalam satu ekosistem pembangunan agar visi besar daerah tak berhenti di meja rapat dan tidak dianggap sebagai pemimpin yang hanya mangapik daun kunyik saja.
Sayangnya, ego sektoral masih kuat. Koordinasi antar dinas lemah, data ekonomi tak sinkron, dan inovasi justru sering dicurigai sebagai ancaman politik. Ketika birokrasi lebih takut kehilangan jabatan daripada kehilangan peluang, maka jangan heran jika pertumbuhan ekonomi pun ikut macet.
Lebih dari itu, Sumatera Barat butuh reformasi kepemimpinan daerah. Pemimpin daerah harus berani mengukur keberhasilan bukan dari seberapa sering tampil di media, tapi seberapa besar perubahan dirasakan masyarakat.
Transparansi data, koordinasi lintas dinas, dan kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy) harus menjadi norma baru. Jika hal ini berjalan, maka potensi besar Sumatera Barat akan bergerak dari tataran wacana menjadi kenyataan.
Dengan tata kelola yang inklusif, kolaborasi yang terbuka, dan kepemimpinan yang visioner, Sumatera Barat bisa kembali menjadi negeri yang bukan hanya dikenal karena tokoh-tokoh besar masa lalunya, tetapi juga karena keberhasilannya membangun masa depan. (*)