Oleh: Ronny P. Sasmita (Analis Senior Indonesia Strategic and Economics Action Institution)
Setahun sudah pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka berjalan. Tahun pertama ini menjadi masa transisi penting yang menentukan arah kebijakan dan warna ekonomi nasional di bawah kepemimpinan baru. Publik menaruh harapan besar bahwa Prabowonomics, istilah yang kini kerap digunakan untuk menggambarkan pendekatan ekonomi pemerintahan ini, akan menghadirkan kombinasi antara keberlanjutan kebijakan era Jokowi dan pembaharuan yang lebih nasionalistik, lebih berpihak kepada rakyat kecil, serta mampu memperkuat ketahanan ekonomi nasional di tengah dinamika global yang semakin tidak pasti. Namun, setelah satu tahun, hasilnya masih belum terlalu jelas.
Pertumbuhan ekonomi memang tetap terjaga di kisaran 5,1 persen pada paruh pertama 2025. Angka ini menunjukkan ketahanan ekonomi yang cukup baik di tengah tekanan geopolitik dan perlambatan global. Meski demikian, pertumbuhan ini belum menunjukkan akselerasi signifikan menuju target ambisius 7–8 persen sebagaimana dijanjikan Prabowo pada masa kampanye.
Sektor-sektor strategis seperti industri manufaktur dan pertanian masih tumbuh moderat, bahkan beberapa di antaranya stagnan akibat lemahnya investasi baru dan produktivitas yang nyaris jalan di tempat. Pertumbuhan masih ditopang terutama oleh konsumsi rumah tangga, sementara ekspor dan investasi belum berperan besar sebagai pendorong baru.
Di sisi lain, inflasi relatif terkendali di kisaran 2,8 hingga 3,1 persen. Pemerintah patut diapresiasi karena mampu menjaga stabilitas harga di tengah fluktuasi harga pangan dan energi global. Namun keberhasilan ini banyak ditopang oleh kebijakan intervensi harga dan subsidi, yang pada gilirannya meningkatkan beban fiskal negara.
Subsidi energi, bantuan pangan, dan program stabilisasi harga memang efektif menahan inflasi jangka pendek, tetapi belum tentu berkelanjutan dalam jangka panjang. Tekanan terhadap nilai tukar rupiah akibat gejolak ekonomi global juga berpotensi meningkatkan inflasi impor, terutama jika ketergantungan terhadap bahan baku dan barang modal dari luar negeri tidak segera dikurangi.
Dari sisi kebijakan fiskal, pergantian Menteri Keuangan menjadi salah satu peristiwa penting yang memberi sinyal dan bayangan arah baru. Pemerintah tampak memilih pendekatan yang lebih ekspansif, berorientasi pada penguatan belanja sosial dan subsidi. Banyak pihak menilai ini sebagai bentuk “fiscal populism”, yakni kebijakan fiskal yang cenderung memprioritaskan kepentingan politik jangka pendek melalui program bantuan langsung dan belanja negara besar-besaran.