Memang, kebijakan ini membawa dampak positif terhadap daya beli masyarakat, tarutama untuk menjaga konsumsi domestik. Namun, risiko terhadap keberlanjutan fiskal tidak bisa diabaikan. Defisit anggaran melebar mendekati 3 persen dari PDB, sementara beban utang terus meningkat. Meskipun rasio utang terhadap PDB masih relatif aman di bawah 40 persen, pembayaran bunga dan cicilan utang kini menggerus lebih banyak ruang fiskal yang seharusnya bisa dipakai untuk belanja produktif.
Kinerja penerimaan negara pun menunjukkan pola yang menarik. Dari sisi pajak, terjadi peningkatan moderat berkat digitalisasi sistem dan intensifikasi pengawasan. Namun basis pajak belum meluas secara signifikan. Banyak pelaku usaha kecil dan menengah masih berada di luar sistem pajak formal, sementara sebagian besar penerimaan masih bertumpu pada sektor komoditas dan konsumsi.
Ketika harga komoditas global menurun, pendapatan negara otomatis ikut tertekan. Di sisi lain, penerimaan nonpajak seperti dividen BUMN dan royalti sumber daya alam juga fluktuatif. Artinya, kemandirian fiskal masih rapuh, dan ketergantungan terhadap faktor eksternal tetap tinggi.
Dalam konteks ini, kinerja Badan Usaha Milik Negara menjadi sorotan penting. Pemerintah memperkenalkan Danantara, sebuah entitas baru yang diklaim berfungsi sebagai dana abadi strategis untuk memperkuat pembiayaan pembangunan nasional. Secara konseptual, pembentukan Danantara merupakan langkah berani, karena dapat menciptakan mekanisme baru untuk mengonsolidasikan aset negara dan menyalurkan investasi jangka panjang secara lebih strategis.
Namun, di sisi lain, muncul kekhawatiran bahwa Danantara justru memperbesar peran negara dalam ekonomi dan mempersempit ruang bagi sektor swasta. Dengan struktur yang dikendalikan langsung oleh figur-figur dekat kekuasaan, sebagian pengamat khawatir entitas ini dapat menjadi instrumen politik ekonomi untuk mengonsolidasikan kekuatan oligarki baru di bawah kendali negara.
Kinerja BUMN sendiri masih beragam. Beberapa perusahaan besar di sektor energi dan infrastruktur menunjukkan perbaikan laba, tetapi masih banyak BUMN yang bergantung pada suntikan modal negara. Restrukturisasi dan konsolidasi memang sedang berlangsung, namun hasilnya belum terlihat nyata. Efisiensi operasional masih menjadi tantangan besar, terutama bagi BUMN yang bergerak di sektor logistik, transportasi, dan manufaktur berat. Di tengah tren global yang justru mendorong privatisasi dan peningkatan peran swasta, Indonesia tampak memilih jalan berbeda dengan memperkuat peran negara melalui instrumen BUMN dan dana abadi (Sovereign Wealth Fund).











