Setahun pemerintahan Prabowo-Gibran menunjukkan dua wajah Prabowonomics. Di satu sisi, tekad untuk menjaga stabilitas dan memperkuat kemandirian nasional terlihat cukup nyata. Di sisi lain, muncul kecenderungan meningkatnya kontrol negara atas ekonomi yang berpotensi menekan dinamika pasar dan partisipasi swasta. Tantangan utama bagi pemerintah kini adalah menemukan keseimbangan yang tepat antara ambisi politik dan disiplin fiskal, antara nasionalisme ekonomi dan keterbukaan pasar, antara populisme dan produktivitas.
Jika arah ini tidak dikoreksi, Prabowonomics bisa terjebak ke dalam kombinasi antara populisme fiskal dan ekonomi negara yang terlalu terpusat, yang justru menghambat inovasi dan efisiensi. Namun jika pemerintah mampu mengelola kebijakan dengan hati-hati, menjaga stabilitas, memperluas basis pajak, mendorong investasi produktif, serta memperkuat transparansi dalam pengelolaan BUMN dan Danantara, maka Prabowonomics masih memiliki peluang untuk menjadi fondasi baru ekonomi Indonesia yang lebih mandiri, inklusif, dan berdaya saing.
Pendeknya, keberhasilan Prabowonomics tidak akan diukur hanya dari angka pertumbuhan, tetapi dari sejauh mana ekonomi Indonesia mampu menciptakan kesejahteraan yang lebih merata, memperkuat kelas menengah, dan mengurangi ketimpangan. Dalam hemat saya, itulah ukuran sesungguhnya dari kemandirian ekonomi yang selama ini dijanjikan. (*)











