Prakoso Bhairawa Putera
Direktur Perumusan Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi – Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
SUMATERA Barat bersiap memasuki babak baru pembangunan ekonomi berbasis kreativitas dan pengetahuan. Dengan terbitnya Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2023 dan Peraturan Gubernur Nomor 25 Tahun 2024, pemerintah provinsi menegaskan komitmen untuk menjadikan inovasi kreatif sebagai poros penggerak ekonomi daerah. Riset, teknologi, dan warisan budaya dipadukan dalam satu visi: menciptakan ekosistem ekonomi kreatif yang berdaya saing dan berkelanjutan.
Namun, sebagaimana lazimnya dalam kebijakan publik di daerah, tantangan sesungguhnya justru muncul pada tahap implementasi. Antara potensi dan pelaksanaan, antara ide dan aksi, Sumatera Barat kini diuji: apakah inovasi benar-benar akan menjadi mesin penggerak ekonomi daerah atau sekadar jargon pembangunan.
Dari Regulasi Menuju Aksi
Perda 2/2023 menempatkan riset dan inovasi sebagai jantung dari ekosistem ekonomi kreatif daerah. Pemerintah Provinsi bertanggung jawab untuk mendorong pengembangan riset yang memperkuat infrastruktur teknologi, mempertinggi daya saing produk kreatif, dan memperluas kolaborasi antara lembaga penelitian, perguruan tinggi, serta masyarakat. Pendekatan ini mencerminkan semangat evidence-based policy yang selama ini menjadi kekurangan dalam perencanaan pembangunan daerah. Dengan demikian, kreativitas tidak lagi dipahami hanya sebagai ekspresi seni, tetapi juga sebagai hasil dari proses pengetahuan dan inovasi teknologi yang dapat dikapitalisasi secara ekonomi.
Peraturan Gubernur Nomor 25 Tahun 2024 menjadi instrumen penting yang mengoperasionalkan semangat tersebut. Regulasi ini menegaskan perlunya Creative Hub dan Inkubator Wirausaha Kreatif di tingkat kabupaten/kota, sekaligus penguatan sistem pendataan digital bagi pelaku ekonomi kreatif. Pendekatan ini tidak hanya menciptakan ruang kolaboratif, tetapi juga menjadi infrastruktur sosial baru yang memungkinkan sinergi antara akademisi, dunia usaha, komunitas, media, dan pemerintah — kerangka yang dikenal sebagai pentahelix. Dengan model ini, kebijakan daerah diharapkan mampu melahirkan inovasi yang berakar pada konteks lokal namun berorientasi global.
Namun, sebuah penelitian terbaru oleh Ainun Mardiah et al. (2024) menunjukkan bahwa daya saing industri kreatif Sumatera Barat masih menghadapi sejumlah tantangan struktural. Berdasarkan analisis shift-share dan location quotient (LQ) terhadap data 2017–2021, hanya tujuh sektor yang tergolong kompetitif, di antaranya perdagangan besar dan eceran, konstruksi, jasa pendidikan, pertambangan, dan penyediaan akomodasi. Sektor pariwisata — yang menjadi simpul utama industri kreatif — justru masih menunjukkan kelemahan daya saing, dengan nilai komponen diferensial negatif. Hasil ini mengindikasikan bahwa meski kebijakan daerah sudah progresif, implementasinya belum cukup mampu meningkatkan keunggulan kompetitif sektor kreatif yang bergantung pada pariwisata dan ekonomi lokal.
Namun, temuan menarik muncul dari analisis Location Quotient yang menunjukkan bahwa sektor pariwisata memiliki nilai LQ 10,93, tertinggi di antara semua sektor ekonomi daerah. Artinya, potensi pariwisata dan produk-produk kreatif di Sumatera Barat sangat kuat secara struktural — mampu menghasilkan output yang tidak hanya memenuhi kebutuhan internal tetapi juga berpotensi menembus pasar luar provinsi. Sayangnya, potensi ini belum sepenuhnya dimanfaatkan oleh pelaku industri kreatif karena masih terbatasnya dukungan riset pasar, digitalisasi, dan akses pembiayaan berbasis kekayaan intelektual.
Potensi yang Terus Bergerak
Pemetaan industri kreatif di provinsi ini memperlihatkan dominasi usaha kuliner sebesar 37,2%, diikuti oleh seni pertunjukan dan kriya. Sentra-sentra pelaku kreatif terbanyak berada di Tanah Datar, Sijunjung, Padang, Bukittinggi, dan Padang Panjang, dengan Tanah Datar menempati posisi tertinggi (15,6% dari total pelaku kreatif).
Pola ini menunjukkan bahwa kekuatan ekonomi kreatif Sumatera Barat terletak pada kombinasi antara identitas budaya dan kewirausahaan berbasis komunitas. Jika dioptimalkan dengan dukungan riset desain, inovasi bahan, serta digitalisasi pemasaran, sektor kuliner dan seni tradisi dapat menjadi “gerbang ekspor budaya” Sumatera Barat ke pasar nasional dan global.
Keterkaitan antara data empiris ini dan kerangka kebijakan provinsi menegaskan satu hal: Sumatera Barat sudah memiliki peta jalan, tetapi belum memiliki mesin penggerak yang efektif. Di satu sisi, kebijakan daerah telah memandatkan pembentukan inkubator inovasi dan fasilitasi pembiayaan kreatif; di sisi lain, hasil penelitian memperlihatkan bahwa penguatan riset dan transfer teknologi masih lemah.
Dalam konteks ini, keberadaan lembaga riset daerah dan perguruan tinggi seperti Universitas Andalas, Univ. Negeri Padang, ISI Padangpanjang, dan politeknik lokal menjadi sangat strategis. Mereka dapat berperan sebagai jembatan antara pengetahuan dan pasar — mengonversi ide riset menjadi produk inovatif yang bernilai jual.
Langkah konkret yang dibutuhkan saat ini adalah membangun mekanisme kelembagaan pembiayaan inovasi daerah yang fleksibel dan terintegrasi dengan kebijakan nasional. Skema seperti Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) Ekonomi Kreatif bisa menjadi wadah untuk mengelola dana riset terapan dan pembiayaan berbasis kekayaan intelektual, sebagaimana diatur dalam PP No. 24 Tahun 2022. Melalui BLUD, pemerintah daerah dapat memberikan akses modal bagi pelaku kreatif tanpa hambatan administratif, sambil memastikan keberlanjutan inovasi di tingkat akar rumput.
Selain itu, pemerintah daerah perlu memperkuat ekosistem data dan evaluasi kinerja. Peta potensi subsektor kreatif yang dihasilkan oleh riset Mardiah et al. dapat digunakan sebagai basis perencanaan anggaran, penentuan prioritas pelatihan, hingga penyusunan program inkubasi. Evaluasi berbasis data memungkinkan kebijakan menjadi dinamis dan adaptif terhadap perubahan pasar global, terutama ketika sektor kreatif semakin terdigitalisasi pascapandemi.
Kekuatan Sumatera Barat tidak hanya terletak pada potensi ekonominya, tetapi juga pada karakter budayanya yang adaptif dan berdaya cipta. Prinsip adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah memberi fondasi etika yang kuat bagi inovasi lokal, bahwa kemajuan ekonomi tidak boleh mengorbankan nilai budaya. Model pembangunan semacam ini — yang memadukan tradisi, pengetahuan, dan kreativitas — justru menjadi daya tarik tersendiri bagi investasi dan pariwisata berkelanjutan.
Dengan regulasi yang sudah mapan dan riset yang memberikan arah, kini Sumatera Barat berdiri di persimpangan penting, antara potensi dan pelaksanaan. Regulasi sudah ada, kelembagaan mulai dibentuk, data empiris telah tersedia — yang dibutuhkan hanyalah keberanian untuk mengeksekusi. Dan Masyarakat menanti pembuktian bahwa Sumatera Barat tidak hanya kaya dengan budaya, tetapi juga maju dengan inovasi. (*)










