HARIANHALUAN.ID – Setelah bertahun-tahun menempuh pendidikan, melewati malam-malam panjang dengan tugas yang menumpuk, berjuang menghadapi ujian, hingga berdiri gagah di atas panggung wisuda dengan toga dan senyum bangga, akhirnya selembar kertas bernama ijazah berada di tangan.
Namun setelah semua euforia berlalu, pertanyaan yang sering muncul di benak banyak orang adalah, “Mau dibawa ke mana ijazah kita”?
Bagi sebagian besar orang, ijazah adalah puncak dari perjalanan akademik, sebuah bukti nyata bahwa perjuangan bertahun-tahun di bangku sekolah atau kuliah telah terbayar. Ijazah menjadi simbol kemampuan, dedikasi dan ketekunan seseorang dalam menempuh jalur pendidikan formal. Tak sedikit yang menyimpannya dengan penuh kebanggaan, bahkan membingkainya sebagai pengingat akan masa-masa perjuangan yang tidak mudah.
Lebih dari sekadar dokumen, ijazah juga menjadi simbol harapan dan legitimasi sosial. Dengan ijazah di tangan, seseorang merasa lebih percaya diri untuk melangkah ke dunia kerja, melamar posisi yang diimpikan, atau melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi. Ijazah menjadi kunci untuk membuka pintu karier, sekaligus harapan untuk kehidupan yang lebih baik.
Namun, seiring dengan perkembangan zaman dan perubahan dunia kerja, makna ijazah kini mulai bergeser. Pertanyaan tentang sejauhmana peran ijazah dalam menentukan kesuksesan hidup menjadi semakin relevan untuk dipertanyakan.
Faktanya, tidak sedikit lulusan perguruan tinggi yang merasa kebingungan setelah wisuda. Dengan ijazah yang sudah diperoleh, mereka berhadapan dengan kenyataan bahwa lapangan kerja tidak selalu sejalan dengan bidang studi yang ditempuh.
Banyak perusahaan kini lebih menekankan pada kemampuan praktis, kreativitas, komunikasi, dan kemampuan beradaptasi dibanding sekadar nilai akademis.
Dalam banyak kasus, ijazah hanyalah salah satu syarat administratif. Dunia kerja kini menuntut lebih dari sekadar teori, ia menuntut pengalaman, kemampuan berpikir kritis dan inovasi.










