Tidak sedikit pula yang akhirnya menyadari bahwa ijazah tidak menjamin kesuksesan. Banyak tokoh inspiratif yang membuktikan bahwa kemampuan dan keuletan bisa berbicara lebih banyak daripada selembar kertas. Di sisi lain, ada pula mereka yang tetap mengandalkan ijazah sebagai modal utama dalam meniti karier birokratis atau profesional.
Perdebatan pun muncul: apakah pendidikan formal masih relevan di era digital ini? Ataukah dunia kini sedang menuju pada era skill-based society, di mana keterampilan dan portofolio berbicara lebih lantang daripada gelar akademik?
Realitanya, ijazah tetap penting, tapi tidak lagi cukup. Ia menjadi fondasi yang harus diperkuat dengan kemampuan lain seperti soft skill, literasi digital, dan kemampuan adaptasi terhadap perubahan.
Lalu, apa sebenarnya yang harus kita lakukan dengan ijazah itu? Apakah cukup dengan menyimpannya sebagai kenangan manis masa studi, ataukah menjadikannya alat untuk berkontribusi bagi masyarakat dan lingkungan?
Di titik inilah, makna sejati ijazah diuji. Ijazah bukan hanya bukti kelulusan, tetapi juga tanggung jawab moral untuk membawa perubahan. Pendidikan sejatinya tidak berhenti di ruang kelas, ia baru dimulai ketika seseorang turun ke lapangan, menerapkan ilmunya dan memberi manfaat nyata bagi orang lain.
Dalam konteks ini, ijazah bisa menjadi alat transformasi sosial. Ketika para pemegang ijazah berani menciptakan lapangan kerja, melakukan inovasi, atau membangun komunitas, maka selembar kertas itu berubah menjadi kekuatan.
Mungkin, jawaban dari pertanyaan “Mau dibawa ke mana ijazah kita?” bergantung pada cara kita memaknai ijazah itu sendiri.
Apakah kita melihatnya sebagai akhir dari perjuangan, atau justru sebagai awal dari perjalanan baru?
Ijazah adalah bukti kerja keras, tapi nilai sejatinya ditentukan oleh sejauhmana kita menggunakan ilmu dan pengalaman yang menyertainya.










