Oleh: Fendi Agus Syaputra (Dosen Sosiologi FISIP Unand)
Kita mendapati kondisi bahwa membaca saat ini terlihat menjadi kebiasaan yang tak menarik di tengah gempuran kemajuan teknologi. Perkembangan teknologi seperti berbagai platform media sosial begitu menarik perhatian sehingga menghabiskan waktu berjam-jam setiap harinya hanya untuk menatap media sosial tersebut. Tak cukup sampai di sana, hadirnya kecerdasan buatan atau AI juga membuat membaca buku semakin terpinggirkan. Tentu kita menyadari bahwa kondisi ini bukanlah sesuatu yang baik.
Kehadiran media sosial dan AI mengubah cara manusia mengonsumsi informasi. Platform media sosial dan AI memiliki sistem kerja menyajikan informasi berupa konten berdasarkan selera pengguna. Hal ini kemudian menciptakan filter bubble yang membuat pengguna hanya akan disajikan informasi yang ia suka saja. Akibatnya, banyak orang terjebak dalam ilusi kepintaran. Ia akan merasa pintar karena mengonsumsi banyak informasi, padahal pemahamannya dangkal dan tidak terstruktur. AI bahkan semakin mempermudah akses jawaban instan, tanpa perlu membaca penjelasan panjang lebar. Sayangnya, kemudahan ini justru membuat otak menjadi malas. Seperti otot yang tidak pernah dilatih, kemampuan analisis, refleksi, dan imajinasi yang hanya bisa diasah melalui membaca mendalam pun semakin melemah.
Hal ini bukanlah sesuatu yang bisa diabaikan begitu saja. Jika kondisi ini terus berlanjut, maka akan banyak manusia cacat logika tapi percaya diri bersuara. Kemudahan yang disajikan AI dan filter bubble media sosial membuat kemampuan menelaah informasi menjadi begitu buruk, dampaknya akan banyak berseliweran orang-orang yang begitu mudah percaya apa pun yang ia terima di media sosial dan simplifikasi dalam mengambil keputusan. Mereka terbiasa menelan informasi mentah-mentah tanpa verifikasi, karena media sosial tidak mengajarkan proses analisis. Masa depan seperti apa yang akan bangsa ini dapati dengan anak bangsa yang seperti itu.
Dalam hal ini keberadaan buku menjadi sesuatu yang begitu penting. Buku memiliki karakteristik yang berbeda dengan sajian informasi digital seperti media sosial dan AI. Media sosial cenderung menyajikan informasi yang terpotong-potong. Sedangkan buku menyajikan pengetahuan secara utuh, sistematis, dan mendalam. Membaca buku juga dapat melatih kita untuk berpikir mengakar, memahami konteks, dan mencerna berbagai argumentasi. Proses inilah yang nantinya membentuk kemampuan berpikir dan ketajaman analisis yang tidak bisa didapatkan dengan cara instan seperti oleh rangkuman singkat di media sosial atau jawaban AI. Buku juga menjadi pelindung melawan misinformasi, dengan membaca sumber terpercaya, kita belajar membedakan antara fakta dan opini, antara data dan hoaks.
Buku mengajarkan kesabaran. Ia tidak menghibur dengan kepuasan semu seperti jumlah like atau komentar di media sosial, tetapi menjanjikan kepuasan intelektual yang membekas begitu lama dan membentuk bangunan berpikir yang sehat. Membaca novel, misalnya, tidak hanya mengasah empati dan imajinasi, tetapi juga memperkaya kosakata dan kemampuan berpikir naratif, kemampuan yang tetap akan relevan bahkan di era kejayaan AI.
Membangun kebiasaan membaca bukanlah hal yang sulit. Terdapat berbagai cara agar membaca buku menjadi bagian dari keseharian. Langkah pertama adalah membangun kesadaran bahwa membaca buku adalah obat bagi ketidaktahuan. Kesadaran bahwa kita masih “bodoh” akan membangun motivasi dari dalam diri sendiri untuk menjadi manusia yang lebih baik. Tanamkan dalam diri bahwa setiap halaman yang dibaca adalah nutrisi yang diperlukan agar otak memiliki kemampuan dalam menyaring informasi, berpikir logis, dan tetap fokus di tengah gempuran informasi digital.
			









