Langkah kedua, jangan membaca buku karena ingin terlihat pintar, karena hal ini akan membuat kita tanpa sadar akan memilih buku bacaan yang berat. Mulailah dengan genre yang disukai novel ringan atau biografi inspiratif. Tujuan awal adalah membangun rasa nyaman, bukan mengejar kuantitas.
Langkah ketiga, menetapkan target berupa jumlah halaman setiap harinya bukanlah pilihan tepat, justru kontraproduktif. Fokus pada capaian jumlah halaman bisa membuat kita terburu-buru tanpa memahami isi. Sebaliknya, tetapkan durasi misalnya 15-20 menit sehari dapat menjadi pilihan yang lebih baik. Matikan notifikasi gawai, cari sudut nyaman, dan nikmati proses membaca tanpa tekanan. Lama-kelamaan, durasi ini akan bertambah secara alami. Ingatlah bahwa tujuan kita membaca bukan tentang seberapa banyak yang dibaca, tapi seberapa banyak bacaan yang kita pahami.
Langkah keempat, manajemen waktu menggunakan media sosial. Media sosial seringkali membuat kita tanpa sadar telah membuang berjam-jam waktu kita setiap harinya. Video pendek dan tak ada batasan scroll konten membuat kita terlena. Sudah saatnya kita membatasi penggunaan media sosial. Salah satu caranya adalah dengan menggunakan aplikasi yang bisa memberikan pengingat bahwa kita telah terlalu lama menggunakan media sosial di hari itu.
Terakhir, bergabunglah dengan lingkungan yang mendukung untuk membentuk kebiasaan ini. Kita tentu menyadari bahwa lingkungan sosial kita menentukan siapa diri kita. Maka carilah kelompok pertemanan yang sama-sama mau berkembang. Buat pertemuan rutin untuk berdiskusi, sehingga membaca menjadi sesuatu keharusan karena berdiskusi membutuhkan bacaan sebagai bahan bakarnya.
Kemajuan AI dan media sosial tidak bisa dihindari, tetapi kita bisa memilih bagaimana meresponsnya. Membaca buku adalah bentuk perlawanan terhadap budaya instan yang membunuh kedalaman berpikir. Ia mengajarkan kita untuk tidak hanya terinformasi, tetapi juga tercerahkan. Mulailah hari ini, ambil buku yang tertumpuk di rak, luangkan 15 menit, dan biarkan setiap halaman mengingatkan kita bahwa di balik kebisingan era digital, ada kebijaksanaan yang hanya bisa ditemukan dalam keheningan membaca. (*)










