Djohermansyah menilai solusi mendasar untuk memutus rantai korupsi kepala daerah adalah dengan mereformasi sistem pilkada agar tidak lagi berbiaya tinggi.
“Saya tidak yakin kasus di Riau ini yang terakhir. Akan ada lagi jika akar masalahnya tidak diselesaikan. Perbaiki dulu sistem pilkada kita. Kalau ongkosnya mahal, korupsi akan terus jadi jalan pintas, nilai adat dan agama kalah sama pragmagisme politik,” katanya.
Banyaknya kasus korupsi di Riau, yang tak sejalan dengan nilai-nilai adat Melayu dan ajaran agama, Djohermansyah menyebut akar masalahnya bukan pada lemahnya budaya, melainkan tidak tersambungnya nilai moral dengan perilaku pejabat.
“Orang Riau itu agamis dan beradat kuat. Tapi dalam praktik kekuasaan, nilai-nilai itu tidak lagi menjadi pedoman. Integritas berbasis adat dan agama itu dikesampingkan,” ujar Djohermansyah yang pernah menjabat Penjabat Gubernur Riau pada 2013–2014 itu.
Pemerasan
Fenomena “jatah reman” yang terungkap dalam OTT KPK itu, menurut Djohermansyah, merupakan bentuk pemerasan atau ekstorsi, bukan sekadar suap.
“Kalau saya cermati, ini bukan kasus suap biasa. Ini lebih ke pemerasan. Pengusaha yang dapat proyek diminta setoran. Ada tekanan, ada pemaksaan. Ini sama seperti kasus di Kementerian Ketenagakerjaan kemarin,” jelasnya.
Ia menilai praktik seperti ini merugikan publik karena berpotensi menurunkan kualitas pekerjaan. “Kalau kontraktor dipaksa setor, pasti spesifikasi proyek diturunkan. Akhirnya masyarakat yang rugi,” tambahnya.











