Oleh : Dodi Mariandi (Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat)
Dalam beberapa tahun terakhir, perkembangan media sosial telah membawa perubahan drastis dalam pola komunikasi, khususnya bagi masyarakat Minangkabau. Platform seperti TikTok, YouTube, dan Instagram membuka ruang bagi siapa saja untuk menjadi konten kreator. Namun, di balik peluang kreativitas dan ekonomi yang ditawarkan, muncul sebuah fenomena yang sangat mengkhawatirkan, yaitu maraknya penggunaan kata-kata kotor atau “caruik” dalam konten berbahasa Minang.
Kata-kata “caruik” ini seringkali digunakan untuk menarik perhatian penonton secara instan atau menciptakan efek komedi yang murahan. Tragisnya, hal ini secara perlahan justru menormalisasi bahasa kasar dalam percakapan sehari-hari dan, yang lebih parah, menurunkan citra budaya Minangkabau yang selama ini dikenal beradat dan beragama.
Dari sudut pandang Pendidikan Agama Islam (PAI), fenomena ini perlu dikritisi secara mendalam karena menyangkut etika komunikasi, pembentukan akhlak, serta tanggung jawab sosial di ruang publik digital.
Dulu, orang Minang dihormati karena kesantunan dalam bertutur kata. Bahasa yang digunakan lembut, penuh makna, dan selalu dijaga sebagai bagian dari marwah diri. Hari ini, di dunia digital, kita menyaksikan kemunculan sebuah anomali: “caruik” atau makian keras kini dijadikan bahan hiburan oleh sebagian kreator Minang. Ironisnya, konten semacam ini justru ditonton dan bahkan dikagumi oleh generasi muda.
Fenomena ini adalah indikasi nyata adanya krisis akhlak berbahasa. Falsafah Minangkabau yang agung, “Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah,” secara tegas menyatakan bahwa adat harus berlandaskan ajaran Islam. Konsekuensinya, tutur kata semestinya mencerminkan keimanan dan akhlak. Ketika bahasa yang keluar justru penuh makian, kita wajib mempertanyakan ke mana perginya nilai-nilai luhur tersebut?
Banyak kreator berdalih bahwa “caruik” hanya sebatas gaya bercanda atau ekspresi spontan. Namun, ketika candaan itu disebarkan dan dinikmati jutaan orang, dampaknya bukan lagi ringan. Normalisasi kata-kata kasar dapat memicu kekerasan verbal dan membuat masyarakat, terutama generasi muda, kehilangan rasa malu (haya’) dan rasa hormat dalam berbicara.
Dalam ajaran Islam, bahasa bukan sekadar alat komunikasi, melainkan cerminan mutlak dari akhlak dan keimanan seseorang. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:
“Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku: hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (qaulan hasanan). Sesungguhnya setan menimbulkan perselisihan di antara mereka.” (QS. Al-Isra’: 53)










