Ayat ini mempertegas bahwa seorang Muslim diperintahkan untuk menjaga tutur katanya agar selalu mengucapkan yang baik (qaulan hasanan). Rasulullah SAW juga bersabda: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Berdasarkan kedua sumber ini, perkataan kotor atau “caruik” jelas bertentangan dengan prinsip iman dan adab. Dalam konteks pendidikan Islam, ini termasuk dalam upaya pembentukan akhlakul karimah (kepribadian mulia), yang merupakan tujuan fundamental dari pendidikan itu sendiri.
Ketika kreator Minang menggunakan bahasa kasar secara terbuka di media sosial, mereka telah menyimpang dari nilai adat dan syarak yang menjadi inti identitas Minangkabau. Publikasi di media sosial menjadikan perilaku ini ditiru oleh anak-anak dan remaja yang masih dalam tahap pembentukan karakter. Padahal, generasi muda Minangkabau seharusnya menjadi pewaris budaya santun, bukan justru menjadi pelaku normalisasi perilaku verbal yang tidak etis.
Dari perspektif Pendidikan Agama Islam, konten semacam ini memiliki pengaruh buruk terhadap pembentukan moral peserta didik. Media sosial kini berperan sebagai sumber belajar informal yang sangat dominan. Bahasa dan perilaku yang ditampilkan di sana secara efektif membentuk pola pikir dan kebiasaan remaja.
Ketika mereka sering mendengar kata-kata kasar dalam konten yang viral, secara tidak sadar mereka akan menganggap hal itu wajar, bahkan “keren”. Akibatnya, terjadi degradasi moral dan hilangnya rasa malu (haya’), padahal haya’ merupakan salah satu cabang iman. Kehilangan rasa malu dalam bertutur kata akan membuka pintu bagi perilaku negatif lainnya, seperti menghina dan merendahkan orang lain. Dalam pendidikan Islam, ini merupakan krisis akhlak komunikasi yang harus diatasi melalui keteladanan dan pembinaan nilai yang kuat.
Pendidikan Agama Islam harus menjadi benteng utama dalam menghadapi gelombang ini. Tugas ini bukan hanya tanggung jawab sekolah, tetapi juga rumah dan masyarakat. Guru, orang tua, dan tokoh adat perlu menegaskan kembali bahwa berbicara dengan santun adalah bagian dari ibadah. Pendidikan akhlak tidak boleh berhenti pada ranah teori, melainkan harus dihidupkan dalam perilaku sehari-hari, termasuk di ruang digital.










