Fenomena maraknya konten “caruik” adalah tantangan moral di era digital. Dari perspektif PAI, ini bukan sekadar persoalan gaya bahasa, melainkan refleksi dari melemahnya kesadaran akhlak dan tanggung jawab sosial. Oleh karena itu, diperlukan sinergi total antara keluarga, sekolah, tokoh adat, dan tokoh agama untuk mengembalikan nilai-nilai kesantunan dalam berbahasa.
Dengan upaya bersama ini, media sosial dapat kembali menjadi sarana dakwah dan pendidikan yang membawa kemaslahatan, bukan sekadar hiburan yang justru menurunkan martabat budaya dan keimanan masyarakat Minangkabau. (*)










