Oleh: Zennis Helen (Dosen Hukum Tata Negara, Pemilu, dan Kepartaian Fakultas Hukum Unes Padang)
Pendulum ketatanegaraan Republik Indonesia setelah 27 tahun usia reformasi nampaknya kian bergerak liar, tak tentu arah, berjalan tidak konsisten dan maju. Salah satu bentuk ketidakkonsistenan itu adalah terkait dengan perpanjangan masa jabatan di lembaga kekuasaan kehakiman, melalui revisi UU.
Mahkamah Konstitusi adalah salah lembaga kekuasaan kehakiman yang mendapat perpanjangan fasilitas perpanjangan masa jabatan melalui revisi UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Perpanjangan masa jabatan ini nampaknya akan merembet ke lembaga kekuasaan kehakiman lainnya, termasuk Mahkamah Agung (MA). Yang saat ini, tengah mengubah UU Mahkamah Agung. Materi perpanjangan masa jabatan sangat seksi terutama di lembaga kekuasaan kehakiman saat ini. Apa yang menyebabkan hal ini terjadi? Apa bahayanya?
Salah satu tuntutan reformasi yang digaungkan mahasiswa pada tahun 1998 adalah adanya perubahan UUD 1945. Pasal pertama yang dilakukan perubahan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) melalui panitia yang dibentuk pada tahun 1999 adalah tentang Pasal 7 UUD 1945: ” Presiden dan/atau Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali.”
Frasa “dipilih kembali” mengantar Presiden Soeharto berkuasa selama 32 tahun. Setelah perubahan pasal 7 tersebut berbunyi,” Presiden dan/atau Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali untuk jabatan yang sama selama lima tahun.”
Setelah reformasi masa jabatan Presiden dan/atau Wakil Presiden Republik Indonesia, mulai dari era Presiden Abdurrahman Wahid, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) hingga Presiden Presiden Joko Widodo, tetap selama dua periode masa jabatan jabatan, yakni selama 10 tahun.










