Belum ada perpanjangan masa jabatan untuk jabatan presiden/wakil presiden menjadi tiga periode masa jabatan. Bukannya gagasan untuk itu tak ada. Pada saat Presiden SBY, ada gagasan untuk tiga periode dan pada masa periode kedua Presiden Joko Widodo, ada perpanjangan masa jabatan menjadi tiga periode.
Namun, semua upaya ke arah itu tidak pernah berhasil dan menjadi kenyataan. Presiden Joko Widodo paling gampang untuk melakukan itu. Menguasai mayoritas dukungan partai-partai di parlemen, sudah digerakkan, tapi tak berhasil karena masih ada partai di parlemen yang memilih tetap konsisten di jalur konstitusi.
Sebab, sekali hal ini dilakukan, ia akan menjadi bumerang dalam perjalanan ketatanegaraan Indonesia, hari ini, dan masa mendatang. Kalender kekuasaan mengalami perubahan drastis. Sesuatu yang dibenci ketika reformasi hampir saja terjadi di lembaga eksekutif. Perpanjangan masa jabatan mengalami kegagalan. Buktinya, setelah Presiden Joko Widodo telah mengakhiri kekuasaan 20 Oktober 2024, ia digantikan oleh Presiden Prabowo Subianto.
Berlabuh di MK
Perpanjangan masa jabatan Presiden/Wakil Presiden yang mengalami kegagalan, akhirnya mengalami kesuksesan di lembaga kekuasaan kehakiman. Masa jabatan hakim MK mengalami perpanjangan selama 15 tahun secara berturut-turut. Tanpa fit and proper di Komisi III DPR setiap lima tahun. Hakim MK, tidak perlu lagi repot berhadapan dengan anggota Komisi III DPR, yang kerap penuh dengan intrik dan praktik culas.
Hakim MK secara otomatis mengemban masa jabatan selama tiga periode masa kekuasaan, dan ia dinyatakan berhenti sebagai hakim MK, jika telah berumur 70 tahun, ia diberhentikan secara hormat. Fasilitas perpanjangan masa jabatan itu diberikan kepada MK, melalui revisi UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Tak bisa dinafikan, perpanjangan masa jabatan hakim MK, menjadi 15 tahun merupakan isu yang krusial ketika revisi dilakukan dan termasuk batas usia menjadi hakim MK, dari berusia 47 tahun menjadi 55 tahun. Bahkan, UU 7/2020 tentang Perubahan Ketiga UU 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang dikeluarkan oleh pembentuk UU itu hanya merupakan UU ”hadiah” bagi hakim MK (Zainal Arifin Mochtar, “Ujian Bagi Hakim Mahkamah Konstitusi”, Kompas, 30/11/2021).
Sementara, isu isu lain tenggelam. Ketika masyarakat sipil menghendaki MK juga diberikan kewenangan untuk menyelesaikan masalah keluhan konstitusional (constitutional complaint) dan pertanyaan konstitusional (constitutional question). Dua hal ini, tidak ditanggapi oleh serius oleh DPR, yang merevisi UU MK. Padahal, keduanya sangat penting dalam memberikan perlindungan dan jaminan kepada warga negara atas kebuntuan hukum di republik ini dan memberikan perlindungan hukum kepada hakim atas UU yang tidak jelas dan multitafsir.
MA Tak Mau Ketinggalan
Setelah MK, diberi fasilitas perpanjangan masa jabatan selama 15 tahun berturut-turut tanpa jeda dan usia pensiun 70 tahun. Mahkamah Agung (MA) pun tak mau pula ketinggalan. Ia pun meminta fasilitas yang serupa dengan saudara kandungnya, MK.










