Kini, MA menginginkan hal serupa. Tak tanggung-tanggung, lembaga kekuasaan kehakiman yang berwenang memutus pada tingkat kasasi itu mengajukan usulan perpanjangan masa jabatan hakim hingga maksimal 20 tahun (Kompas, 25/7/2025). Perpanjangan masa jabatan hakim MA ini akan dilakukan melalui RUU Jabatan Hakim, yang tengah dibahas DPR saat ini.
Perpanjangan masa jabatan hakim ini pun, mendapat sorotan dari masyarakat sipil. Peneliti Centra Initiative, Erwin Natosmar Umar menilai tidak ada landasan empiris mengapa harus ada perpanjangan masa kerja hakim agung yang bisa mencapai 20 tahun. Atau, dapat bekerja di usia yang lebih dari 70 tahun.
Hal itu tidak akan membuat MA menjadi lebih efektif dalam penanganan perkara (Kompas, 25/7/2025). Hal ini adalah bentuk pengingkaran amanah reformasi, yang menginginkan bandul pembatasan kekuasaan. Alih-alih membatasi kekuasaan dari segi waktu yang terjadi justru memperpanjangnya. Akibatnya, masa jabatan lembaga kekuasaan kehakiman dan lembaga kepresidenan mengalami ketimpangan dan tidak sama.
Perpanjangan masa jabatan menemukan momentum dan tempat bersemainya di dua lembaga kekuasaan kehakiman, yakni MK dan akan dilakukan di MA. Dalam pandangan penulis, memberikan kemewahan berupa perpanjangan masa jabatan kepada kedua lembaga kekuasaan kehakiman, memunculkan beberapa risiko.
Pertama, putusan-putusan lembaga kekuasaan kehakiman akan tumpul dan hanya akan berpihak kepada kepentingan penguasa, Kedua, putusan hakim akan semakin jauh dari keadilan, Ketiga, rakyat akan susah mengakses keadilan, Keempat, praktik main hakim sendiri dalam setiap penyelesaian perkara akan semakin marak.
Inilah bahaya jika perpanjangan masa jabatan itu diberikan ke lembaga yudikatif. Ia akan gamang dalam menegakkan hukum dan keadilan di negeri ini. (*)










