Oleh: Prakoso Bhairawa Putera (Direktur Perumusan Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi BRIN)
Lebih dari sekadar pengetahuan individu—setidaknya itulah kesan utama yang muncul dari hasil pembacaan saya terhadap Science Literacy: Concepts, Contexts, and Consequences, sebuah laporan yang diterbitkan oleh National Academies of Sciences, Engineering, and Medicine pada tahun 2016. Ditulis oleh Catherine E. Snow dan Kenne A. Dibner, laporan ini menawarkan cara pandang yang jauh lebih komprehensif terhadap apa yang selama ini disebut sebagai “literasi sains”.
Alih-alih memaknai literasi sains hanya sebagai kemampuan individu menguasai fakta atau konsep ilmiah, laporan ini menggeser fokus ke pemahaman yang lebih luas—mencakup praktik ilmiah, proses sosial yang melandasi produksi pengetahuan, serta kapasitas kolektif masyarakat dan komunitas dalam menggunakan sains untuk mengambil keputusan yang lebih baik.
Namun, laporan ini justru menunjukkan bahwa anggapan tersebut terlalu menyederhanakan persoalan. Literasi sains tidak bekerja secara linier dan bukan hanya milik individu; ia berkembang dalam konteks sosial yang jauh lebih kompleks—melibatkan masyarakat, komunitas, dan bahkan struktur institusional.
Memperluas Makna Literasi Sains
Pertama, laporan ini menegaskan bahwa literasi sains terdiri atas tiga unsur utama. Mulai dari pengetahuan konten, pemahaman praktik ilmiah, dan pemahaman sains sebagai proses sosial. Pengetahuan faktual hanyalah satu bagian kecil.
Untuk menjadi literat sains, seseorang juga perlu memahami bagaimana ilmuwan bekerja, bagaimana bukti dikumpulkan dan diuji, bagaimana konsensus dibangun, serta bagaimana mekanisme seperti peer review atau konflik kepentingan memengaruhi hasil penelitian. Pemahaman ini semakin penting di era digital ketika masyarakat terpapar dengan volume informasi yang masif—baik informasi yang bermutu maupun misinformasi.
Kedua, dari laporan ini kita diperkenalkan dengan konsep bahwa literasi sains tidak hanya beroperasi pada tingkat individu, melainkan juga pada tingkat komunitas dan masyarakat. Komunitas dapat bersifat literat sains meskipun tidak semua anggotanya memiliki pengetahuan tinggi.
Ketika sebuah komunitas mampu berorganisasi, mengakses informasi yang kredibel, bekerja sama dengan ilmuwan atau lembaga kesehatan (misalnya), mereka dapat mengambil keputusan kolektif yang berbasis bukti. Contoh yang sering muncul adalah komunitas yang melakukan pemantauan kualitas air, pemetaan pencemaran, atau advokasi kesehatan publik. Dalam konteks ini, literasi sains adalah kapasitas kolektif, bukan semata kemampuan personal.










