Ketiga, pada laporan ini juga, dipertunjukkan bahwa hubungan antara literasi sains dan perilaku sangat lemah. Banyak penelitian menunjukkan pengetahuan ilmiah tidak otomatis mengubah sikap atau keputusan seseorang. Faktor nilai, identitas budaya, agama, dan orientasi politik sering kali lebih menentukan.
Pada isu-isu kontroversial seperti vaksin, perubahan iklim, atau rekayasa genetika, peningkatan pengetahuan justru dapat memperkuat polarisasi. Temuan ini mengingatkan bahwa strategi peningkatan literasi sains tidak boleh mengandalkan pendekatan “defisit”, yakni mengasumsikan publik kurang informasi sehingga perlu diberi lebih banyak pengetahuan faktual.
Keempat, literasi sains sangat terkait dengan literasi dasar dan numerasi. Kemampuan memahami teks, grafik, statistik, dan risiko merupakan fondasi penting bagi seseorang untuk menafsirkan informasi ilmiah. Ketimpangan literasi dasar dan kesehatan berdampak langsung pada ketimpangan literasi sains, dan ketimpangan ini sangat dipengaruhi oleh struktur sosial—terutama akses pendidikan bermutu dan sumber daya ekonomi.
Snow dan Dibner (2016) mengajak kita untuk memperluas cara pandang terhadap literasi sains. Ia bukan sekadar kemampuan mengingat fakta, tetapi modal sosial yang dibentuk oleh interaksi individu, komunitas, dan institusi.
Membangun masyarakat yang literat sains membutuhkan sistem pendidikan yang kuat, ekosistem komunikasi sains yang terpercaya, serta kebijakan publik yang memungkinkan warga berpartisipasi dalam pengambilan keputusan berbasis bukti. Dengan pendekatan ini, literasi sains bukan lagi tujuan sempit, melainkan fondasi bagi masyarakat yang sehat, demokratis, dan berketahanan. (*)










