Jika dijalankan dengan konsisten, digitalisasi bisa mengikis kesenjangan antara kota dan desa, serta memperkecil “jurang digital” yang selama ini membatasi peluang masyarakat pedesaan. Desa yang melek digital akan lebih tangguh, lebih mandiri, dan lebih terbuka terhadap inovasi.
Namun yang terpenting, digitalisasi harus tetap berpusat pada manusia. Ia tidak boleh menjauhkan desa dari akar budayanya, melainkan memperkuat nilai gotong royong, solidaritas dan kebersamaan, tiga hal yang justru menjadi modal sosial utama masyarakat Minangkabau.
Karena itu, keberhasilan digitalisasi bukan diukur dari banyaknya perangkat, melainkan dari seberapa besar perubahan yang dirasakan oleh masyarakat. Apakah warga lebih mudah mengurus administrasi? Apakah UMKM desa lebih berkembang? Apakah anak-anak desa memiliki akses belajar yang lebih baik
Nagari-nagari di Sumatera Barat (Sumbar) kini punya peluang emas. Program Nagari Creative Hub bisa menjadi role model dalam menjawab tantangan efisiensi anggaran dan keterbatasan sumber daya, sembari membangun desa yang berdaulat secara ekonomi. Namun semua itu akan sia-sia jika tidak disertai dengan komitmen kolektif, baik dari pemerintah, akademisi, swasta, maupun masyarakat sendiri.
Digitalisasi bukan tujuan akhir. Ia adalah perjalanan menuju kemandirian. Dan seperti pepatah Minang, “alam takambang jadi guru” dari setiap perubahan, kita belajar untuk beradaptasi, berinovasi dan berdiri di atas kaki sendiri.
Desa digital bukan utopia. Ia bisa menjadi nyata jika dikerjakan dengan visi, komitmen dan keberpihakan pada rakyat kecil. Saatnya nagari-nagari di Sumatera Barat menyalakan api inovasi itu, agar cahaya digital tidak hanya bersinar di kota, tapi juga menerangi surau, ladang dan sawah di pelosok nagari. (*)
Oleh: Kepala Desa Silungkang Oso, Kota Sawahlunto, Ferdinal










